Sukses

Harumnya Kopi Moanemani Bikin Resah Hati Petani Lokal

Nama kopi Moanemani mulai naik daun hingga ke mancanegara. Permintaan pun berdatangan.

Liputan6.com, Moanemani - Nama Kopi Moanemani sedang harum-harumnya di luar Papua hingga ke mancanegara. Namun, kondisi itu justru meresahkan petani kopi lokal di Moanemani, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua.

Pasalnya, membludaknya pesanan Kopi Moanemani dari luar Papua tak dapat disanggupi oleh petani lokal. Apalagi, petani lokal tak mendapatkan bimbingan atau pelatihan apapun tentang kopi alias hanya mengandalkan keterampilan turun temurun.

"Padahal untuk memasarkan kopi ini, kami tak pernah mendapatkan kesulitan," kata Didimus Tebay (62), petani Kopi Moanemani Dogiyai yang saat ini mengelola Pusat Pertanian, Peternakan, Perkebunan, Perikanan dan Pariwisata (P5) Kabupaten Dogiyai bersama lima petani lainnya.

Petani Kopi Moanemani sampai saat ini tak pernah paham, berapa hektare atau berapa pohon yang harus mereka kelola hingga bisa menghasilkan uang, untuk menambah penghasilan hidup bagi keluarganya.

Perhitungan Didimus, idealnya satu petani lokal harus mengelola setengah hektare kebun kopi yang berisi sekitar 800-an pohon. Dengan kondisi seperti itu, Didimus yakin setiap petani lokal dapat mengantongi untung hingga Rp 5 juta per bulan.  

"Kopi Moanemani berbuah tak mengenal waktu musim penghujan ataupun musim kering. Kami bisa panen kopi dalam satu tahun sebanyak dua kali. Satu pohon kopi biasanya menghasilkan 1 kilogram kopi, tinggal dikalikan saja, jika ada 800 pohon kopi," kata dia.

Bimbingan bagi petani lokal Kopi Moanemani, kata Didimus, bisa dilakukan dengan meminjamkan dua petani andalan dari setiap distrik untuk diajari keterampilan mengelola kebun kopi. Nantinya, petani yang dilatih dapat mengajarkannya ke petani lain di kampungnya.

"Masyarakat di Dogiyai memiliki tipe bersaing dengan kompetetif. Jika ada petani kopi yang berhasil, pasti petani lainnya tak mau kalah untuk bersaing," kata dia.

Dalam satu tahun, P5 hanya bisa mendapatkan 2 ton kopi yang dibeli dari petani lokal. Harga yang ditawarkan mencapai Rp 50 ribu per kilogram.

"Usaha P5 ini tak sehat. Seharusnya, kami mengolah 1.000 kilogram kopi per bulannya. Kalau sekarang ini, kami hanya kerja bodoh saja. Sebab, kalau bukan kami yang mempertahankan P5, siapa lagi? Bisa-bisa hanya tinggal nama saja," ucap Didimus.