Sukses

Sidang Adat ala Warga Sengir Adili Penyebar Hoax

Penyebar hoax di Pedukuhan Sengir itu ternyata seorang guru Bahasa Indonesia.

Liputan6.com, Yogyakarta - Gara-gara hoax, banyak orang terpancing emosi. Bahkan, ada yang meninggal gara-gara isu hoax yang disebar. Namun, warga Sengir, Kalirejo, Kokap, Gunungkidul, Yogyakarta memilih mengundang penyebar hoax ke rapat warga.

Penyebar hoax saat itu menyebarkan pesan palsu yang berisi terjadinya longsor di Pedukuhan Sengir, Kulonprogo pukul 18.15 WIB akibat intensitas hujan yang tinggi Dusun Sengir, Kelurahan Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo.

Dalam pesan bohong yang disebar pada minggu lalu disebutkan longsor itu mengakibatkan 76 rumah rusak, sembilan orang meninggal, 32 orang luka, 39 orang hilang, dan 247 orang mengungsi. Pesan yang tersebar 17 Maret itu dinilai keterlaluan karena di desanya hanya ada 84 rumah.

Pesan itu sampai ke Kades setempat. Ia kemudian mengklarifikasi pesan berantai yang diterimanya kepada aparat desa yang saat itu sedang mengikuti program desa.

"Kita klarifikasi kabar itu tidak benar. Siapa yo yang buat kabar itu, pihak kepolisian yang mencari," ujar Kasi Pembangunan dan Pemberdayaan Desa Kalirejo Setia Wahyudi saat ditemui di Balai Desa Kalirejo, Kamis, 30 Maret 2017.

Yudi yang juga Plh Dukuh Sengir mengatakan usai informasi hoax tersebar, warga ingin mengadili penyebar hoax. Pada Jumat pekan lalu, penyebar yang diketahui merupakan seorang guru SMP itu akhirnya diundang ke Balai Dusun Sengir.

Dalam sidang warga, guru Bahasa Indonesia itu mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Sidang musyawarah itu akhirnya berakhir seiring warga memaafkan orang tersebut.

"Hukuman ya paling minta maaf dan warga minta mengingatkan kepada beliau dan diri kita sendiri dengan pengalaman ini kita ada hikmahnya. Masyarakat sudah tidak masalah dengan itu," ujar Yudi.

2 dari 2 halaman

Hukuman Sosial bagi Penyebar Hoax

Sidang warga yang berlangsung tertib itu digelar untuk menenangkan warga Sengir dan Kalirejo di perantauan yang khawatir. Terlebih bagi warga perantau yang tidak dapat menghubungi sanak keluarganya di desa. Setelah klarifikasi, warga perantauan legas jika berita yang tersebar dipastikan hoax.

"Sengir tidak begitu rawan longsor. Memungkinkan (longsor) tapi gejala ke arah itu tidak ada kami berharap tidak ada," ujar dia.

Menurut Yudi, kasus itu menjadi pelajaran bagi warga dalam menghadapi infomasi yang belum jelas kebenarannya. Kebiasaan mengedepankan musyawarah juga membantu warga Sengir menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Tradisi bermusyawarah itu, sambung dia, bisa jadi karena berkembangnya kesenian dan kebudayaan Jawa yang masih terjaga di kampung. Warga akhirnya memilih musyawarah daripada aksi fisik dalam menyelesaikan masalah berita hoax.

"Budaya Jawa kan penuh dengan olah rasa. Kalau kita main musik karawitan, yang kita kedepankan rasa dan bukan emosi hal hal itu yang bisa kita ambil hikmahnya menyikapi masalah lebih santun lebih bijak. Dan mudah memberikan maaf," kata dia.

Yudi juga mengatakan kasus itu justru membuat warga Sengir semakin bersatu. Namun, warga juga memberikan hukuman sosial bagi penyebar hoax. Berawal dari ide pemuda, penyebar hoax itu diminta untuk memasang lampu pedesaan secara legal

"Generasi muda itu cuma pengin masang lampu. Lampu bukan yang dipasang gitu aja, tapi yang resmi, kerja sama dengan dinas," ujar Yudi.