Liputan6.com, Bandung - Siang yang lengas, Herman (63), kembali menarik angkutan kota (angkot) jurusan Elang – Cicadas yang beroperasi di Kota Bandung. Ia menepikan angkot berwarna merah dengan strip hijau itu di pinggir jalan untuk mencuci mobil.
Peluh dan keringat menetes dari wajahnya usai mencuci mobil. Dia pun mengelapnya dengan handuk kecil yang biasa dibawa sehari-hari.
Armada yang dikendarai Herman terlihat cukup baik. Bagian interiornya masih rapi dengan kursi dilapisi plastik bening. Cat angkot juga masih terlihat terang pada bagian luar.
Herman mengatakan, angkot milik majikannya itu baru setahun beroperasi. Kondisinya terawat.
Advertisement
"Ini sudah diremajakan, baru satu tahun dicicil dengan uang muka Rp 32 juta. Cicilan satu bulannya Rp 3 jutaan," kata Herman saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis, 29 Maret 2017.
Baca Juga
Kondisi angkot Herman tidak seseram yang dibayangkan orang. Meski tak berpendingin, angkot Herman layak ditumpangi. Tidak ada bau dan terasa nyaman duduk di dalamnya.
Sebagaimana aturan daerah, angkot yang boleh beroperasi adalah berumur maksimal 10 tahun. Aturan itu tertera dalam Pasal 89 ayat 3 Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung No 16 Tahun 2012.
Jika lebih dari 10 tahun, angkot harus mengikuti program peremajaan. Aturan tersebut diberlakukan untuk menjaga jumlah angkot ideal yang beroperasi. Namun, aturan yang berlaku tak serta merta menghilangkan kebimbangan Herman.
Herman mengaku mata pencaharian sebagai sopir angkot di zaman sekarang sudah dibilang tidak pasti. Dibanding dulu, pendapatan sopir lebih besar pasak daripada tiang.
Herman mengatakan, menarik angkot di Bandung sejak 1989. Selama 28 tahun bekerja, ia merasa lima tahun terakhir adalah masa terberatnya.
Besar Pasak daripada Tiang
Selain bersaing dengan sesama sopir, keberadaan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, dan taksi serta ojek online yang semakin menjamur mempengaruhi penghasilannya secara signifikan. Dampaknya? Ia menunjuk ke arah angkot yang melintas yang mengangkut hanya satu dua penumpang.
"Kadang cuma dapatnya Rp 30 ribu. Bisa penuh setoran saja sudah syukur, tidak seperti dulu lagi bisa sekolahkan anak," tutur Herman.
Herman biasa menyetorkan hasil jerih payahnya kepada pemilik angkot sebesar Rp 120 ribu per hari. Dalam hitung-hitungan sopir, sehari hanya bisa enam rit.
Untuk sekali rit, Herman perlu mengeluarkan kocek Rp 25 ribu. Ongkos Cicadas – Kebon Kalapa Rp 6.000, sedangkan Cicadas – Elang tarifnya Rp 5.000.
Bagaimana jika jalanan macet? Kata Herman, ia harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 20 ribu. Sebagai contoh, ia baru mengantongi Rp 60 ribu pada pukul 14.20 WIB, sementara mobil sudah harus dikembalikan ke garasi pukul 7 malam.
"Saya tidak bohong, silakan disurvei sendiri. Ada pendapatan tapi jumlahnya ya segitu. Bisa dapat Rp 50 ribu sehari sudah bagus. Sekarang sudah makan saja sudah untung," ucap dia.
Ditambahkan ayah empat anak itu, ia sampai meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Utangnya kini mencapai Rp 1 juta. "Kalau tidak utang bagaimana bisa makan?" keluh dia.
Di tengah senja kala angkot Bandung, Herman mengaku tak bisa beralih ke pekerjaan lain selain sopir angkot. Meski begitu, ia juga menyambi menjadi kuli bangunan demi pendapatan tambahan Rp 60 ribu sehari di waktu lengang.
"Kalau ada waktu (luang) saya ikut jadi tukang, lumayanlah bisa buat dapur," ucap Herman. (Huyogo Simbolon)
Advertisement