Liputan6.com, Palembang - Jika menonton Film Laskar Pelangi, sangat jelas tergambar kondisi bangunan sekolah dan pendidikan yang serba pas-pasan di Pulau Belitung. Ternyata, sekolah ‘Laskar Pelangi’ juga ada di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), tepatnya di perbatasan Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin.
Nama sekolah ‘Laskar Pelangi’ ala Sumsel adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Munawarul Fajri. Sekolah Islam itu berada di ujung Kabupaten Banyuasin, tepatnya di Desa Jerujung.
Madrasah yang didirikan pada 2009 dari swadaya masyarakat itu menjadi satu-satunya pusat pendidikan resmi yang berdiri di desa setempat.
Advertisement
Sama seperti sekolah ‘Laskar Pelangi’, bangunan awal madrasah ini hanyalah rumah kayu sederhana berukuran sekitar 6x5 meter. Rumah itu sekaligus menjadi tempat tinggal kepala madrasah, Muhammad Indra (47) yang sering dipanggil Ustaz Indra.
Di tahun pertama dibuka, sebanyak 25 orang santri yang masuk sekolah. Para santri tidak menggunakan seragam sekolah karena kebanyakan orangtua mereka hanyalah buruh tani berpendapatan minim. Dengan kondisi itu, para santri tidak dipungut biaya sedikit pun selama belajar di madrasah ini.
"Dulu tidak ada listrik, tidak ada meja, hanya lesehan saja di dalam kelas. Gurunya juga hanya saya dan istri, tapi kami tetap semangat untuk mendidik anak-anak," kata Indra kepada Liputan6.com, saat ditemui di MI Munawarul Fajri, Selasa, 4 April 2017.
Awalnya, Indra sekeluarga tinggal di Palembang dan bolak-balik tiap hari melalui jalur sungai ke Desa Jerung. Karena keterbatasan transportasi, ia lalu mengajak keluarganya tinggal di salah satu ruang madrasah.
Baca Juga
Ia sengaja menyekat ruang madrasah untuk keluarganya dan berbagi dengan para santri yang hendak belajar.
Sedikit demi sedikit, jumlah siswa madrasah itu berkurang. Banyak orangtua yang enggan melanjutkan pendidikan anaknya karena menilai fasilitas madrasah serba kekurangan. Tak jarang, siswanya berhenti sekolah karena diajak orangtuanya membantunya menjadi buruh tani.
"Banyak warga yang masih belum mengenal manfaat sekolah dan ilmu, jadi anak-anaknya dibawa ke hutan semua, diajak bekerja dan putus sekolah," kata Indra.
Meski begitu, semangat Indra tak surut. Ia kini bisa mampu membangun satu ruang kelas baru dari bantuan donatur dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kementrian Agama (Kemenag).
Karena kontur tanah di kawasan madrasah tersebut rendah, pihaknya harus merogoh kocek lebih banyak untuk penimbunan. Satu unit RKB bisa menghabiskan puluhan juta rupiah.
Berkembang Jadi Madrasah Tsanawiyah
Keteguhan hati Indra berbuah manis. Madrasah yang dikelolanya kini sudah berkembang dengan membuka Madrasah Tsanawiyah (MTs) sejak dua tahun terakhir. Total siswa MI dan MTs ada sekitar 63 santri dengan tujuh orang guru.
Untuk mengurus izin pembukaan MTS baru itu tidaklah mudah. Ustaz Indra harus menempuh jalan sekitar 2,5 jam menuju ke Kemenag Banyuasin, tepatnya di kawasan Pangkalai Balai.
Ia sudah empat kali bertandang ke Kemenag Banyuasin untuk mengurus izin MTs Munawarul Fajri, tapi belum rampung juga.
"Sekarang baru sampai kelas 2 MTs. Kelas 1 sebanyak sembilan orang dan kelas 2 sebanyak tiga orang. Santri kelas 2 MTs itulah yang merupakan sisa siswa pertama kami saat membuka MI," ujar Indra.
Jumlah ruang kelas baru yang terbangun kini berjumlah enam ruang. Namun, hanya empat ruang kelas yang dibangun secara permanen, sisanya masih berbahan kayu.
Dengan kondisi terbatas, tak jarang kegiatan belajar mengajar tertuna. Terutama jika sedang turun hujan. Atap kelas yang bocor membuat guru dan siswa harus bahu membahu menadah air hujannya.
Dinding kayu yang sudah tua juga banyak yang berlubang dan tidak rapat serta atapnya yang hanya beralaskan seng. Maka itu, jika cuaca terik di luar akan sangat terasa oleh siswa di dalam ruangan kelas.
Dengan bertambahnya RKB ternyata belum mampu menampung seluruh santri. Untuk menyiasatinya, para santri kelas 2, 3, 4, 5 MI dan kelas 1-2 MTs digabung dalam satu ruangan tanpa sekat. Padahal, ruangan belajar santri MTs berjumlah 12 orang itu hanya selebar 2x3 meter.
Para guru honorer juga harus membagi fokus materi ke dua kelas secara bergantian dengan hanya bermodal dua papan kayu. Ada juga RKB kelas 4-5 MI yang juga digunakan sebagai ruangan musala.
Hingga saat ini, tidak ada kursi untuk para santri. Mereka harus duduk di lantai setiap harinya. Di dalam kelas hanya tersedia meja kayu, papan kayu dan kapur. Meja kayu yang berukuran 50x30cm ini dibuat sendiri oleh pihak madrasah dari dana bantuan yang diterima.
"Kita terpaksa menggabungkan para santri dalam satu kelas, karena ruangannya memang terbatas. Ada juga ruangan yang belum bisa digunakan karena belum selesai dibangun dan dananya sudah tidak ada," ujar dia.
Kesederhanaan juga terlihat dari para santrinya. Kendati menggunakan seragam sekolah, seluruh santri madrasah ini hanya beralas kaki sandal. Tidak ada satupun yang berangkat sekolah menggunakan kaos kaki dan sepatu.
Dari puluhan santri, ada tujuh orang santri yang menginap di madarasah. Selain berasal dari keluarga tidak mampu, dua orang santrinya juga merupakan anak yatim.
"Kita juga membiayai seluruh kebutuhan santri yang mondok. Mulai dari kebutuhan sekolahnya dan makannya sehari-hari. Ada juga guru yang menginap disini dan membantu mengawasi para santri," tutur Ustaz Indra.
Advertisement
Lulusan Pesantren Terbaik
Ada salah satu kegiatan rutin para santri madrasah. Seusai belajar, seluruh santri diwajibkan Salat Zuhur berjemaah. Mereka memanfaatkan air hujan yang ditadah di dalam kolam yang berada di tengah areal madrasah. Meskipun warna airnya keruh, para santri tampak tak terpengaruh.
Madrasah itu ternyata juga menjadi tempat favorit bagi para warga sebagai tempat pengajian. Setiap sore, ada sekitar 80 santri dari madrasah dan pesantren terdekat yang mengaji bersama. Setiap Jumat, mereka rutin menggelar yasinan bersama.
Meskipun madrasah terlihat sederhana, orang-orang yang berada di balik kesuksesan membangun pendidikan di desa itu bukan dari kalangan biasa. Ustaz Indra merupakan salah satu lulusan pesantren tertua di Indonesia, yaitu Pesantren Tebuireng di Cirebon, Jawa Barat.
Ia sering diundang menjadi penceramah di berbagai kegiatan keagamaan, baik di Palembang maupun di luar kota. Sebagian hasil honornya dikucurkannya untuk membangun madrasah menjadi lebih baik lagi.
Dari jaringan yang kuat ini juga, Ustaz Indra sering mendapatkan bantuan dan pinjaman dana untuk kebutuhan madrasah dan gaji guru. Tak jarang, dirinya harus meminjam uang Rp 1 Juta untuk menggaji guru
"Kadang terpaksa hutang dulu ke kerabat untuk gaji guru. Ada juga guru yang tidak masalah jika digaji saat dana BOS cair tiga bulan sekali," ungkap dia.
Kondisi yang terbatas ini tak membuat para guru berkeluh kesah. Bahkan, salah satu guru madrasah ini yaitu Novianto (24) adalah lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fattah Palembang. Novianto bahkan tercatat sebagai mahasiswa berprestasi penerima beasiswa Bidik Misi 2012.
Melihat kondisi MI yang serba terbatas, Novianto akhirnya ikut mengajar disini dan meninggalkan pekerjaannya yang menggiurkan di Kota Palembang. Padahal, honor mengajar yang diterimanya di Palembang cukup menggiurkan.
"Kalau upah di sini pastinya jauh berbeda dengan di Palembang. Tapi, saya niatnya membantu, memberikan ilmu kepada para santri di sini," ujar dia yang baru tiga bulan mengajar di MI Munawaroh Fajri ini.
Untuk menghemat pengeluaran, Novianto rela tinggal di dalam madrasah selama lima hari. Sedangkan Sabtu-Minggu, dirinya berangkat ke Palembang untuk mengajar les privat.
Keterbatasan fasilitas juga tidak membuat Aisyah (14), santri kelas 2 MTs Munawarul Fajri berhenti bersekolah. Kendati saudaranya lebih memilih bekerja, dirinya ingin fokus belajar dan menjadi pintar.
"Kami tidak pernah mengeluh atau membandingkan dengan sekolah lain. Kami senang belajar di sini," kata dia.
Sama halnya dengan Rio (10), santri kelas 4 MI Munawarul Fajri. Di dalam kelas yang sempit, ia harus berbagi dengan belasan santri lainnya, termasuk adik kelasnya. Tapi setiap hari, ia selalu datang tepat waktu ke sekolah.
"Pukul 07.00 WIB sudah ada di sekolah dan belajar, pukul 12.00 WIB pulang bareng teman-teman. Kalau kakak saya tidak tamat sekolah, bantu bapak bekerja," ujar Rio.
Solihin (50), Ketua RT 31 Desa Jerujung Kabupaten Banyuasin membenarkan bahwa dari 60 Kepala Keluarga (KK) di desa ini, banyak warga yang memilih meninggalkan bangku sekolah.
"Banyak anak-anak yang putus sekolah demi membantu orangtuanya bertani atau jadi buruh karet. Perekonomian warga di sini memang rendah, profesinya buruh semua," ujar Solihin.