Sukses

Awas, Penularan TBC di Kota Malang Terus Bertambah

Penderita yang berhenti dari pengobatan sebelum sembuh total berpotensi menularkan penyakit TBC.

Liputan6.com, Malang Jumlah penderita tuberchulosis (TBC) paru di Kota Malang, Jawa Timur, terus naik tiap tahunnya. Pada 2015 ditemukan 1.123 kasus dan naik menjadi 1.851 kasus pada 2016. Banyaknya penderita drop out (DO) dari pengobatan jadi salah satu penyebab kenaikan kasus itu.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang, Asih Tri Rachmi Nuswantari mengatakan, di tahun 2015 ada 113 orang yang DO dari pengobatan sehingga berpotensi menularkan penyakit.

"Idealnya pengobatan itu antara enam sampai sembilan bulan. Kalau DO sebelum sakitnya sembuh total, maka tubuhnya jadi kebal dan bisa sulit jika akan diobati lagi," kata Asih di Malang, Sabtu (8/4/2017).

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri TBC ini ditularkan melalui udara. Komunikasi langsung antara penderita yang belum sembuh dengan anggota keluarganya berpotensi menyebarkan penyakit itu. Terutama pada keluarga miskin dengan rumah ventilasi tak layak.

"Sirkulasi udara di rumah yang tak baik itu mempercepat penularan. Apalagi ada anggota keluarga DO dari pengobatan," tutur Asih.

Penderita tuberchulosis juga rugi jika DO dari pengobatan sebelum sehat total. Sebab, biaya pengobatannya terbilang mahal. Padahal, jika tetap berobat bakal tetap dibantu. Pemerintah Kota Malang membantu pengobatan, ada juga bantuan dari pemerintah pusat berupa obat – obatan.

"Kami juga memberi stimulus tambahan ke penderita berupa susu tinggi kalori dan protein. Harapannya, cepat sehat karena kondisi tubuhnya juga diperbaiki," papar Asih.

Kota Malang, sebut Asih, sudah berupaya maksimal untuk menangani penyakit itu. Jumlah dokter swasta yang sudah terlatih dengan metode pengobatan Directly Observed Therapy (DOT) ada 53 dokter. Jumlah kader yang dilibatkan untuk membantu penanganan penyakit ini ada 150 kader.

Kasus penyakit TBC itu paling banyak ditemukan saat pasien berobat di puskesmas dengan persentase 36 persen, rumah sakit 37 persen, dokter mandiri swasta 26 persen, kader 1 persen dan kelompok masyarakat 1 persen.