Sukses

Katinting, Jejak Transportasi Tua di Sungai Jeneberang Gowa

Keberadaan katinting tak hanya berfungsi sebagai alat transportasi, tetapi juga membantu memelihara Sungai Jeneberang. Bagaimana caranya?

Liputan6.com, Gowa - Dalam perjalanan sejarah nasional, nama Gowa sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Sulawesi Selatan. Sejak abad ke-15, Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan maritim di Provinsi Sulsel.

Kini, banyak bagian di wilayah Kabupaten Gowa telah tersentuh modernitas. Hal itu dilihat dari sejumah aspek yang menampilkan pembangunan-pembangunan kekinian, misalnya Jembatan Barombong dan Jembatan Kembar di atas Sungai Jeneberang.

Kedua jembatan itu dibangun tentu untuk mempermudah akses warga yang tinggal di sekitaran aliran Sungai Jeneberang. Meski infrastruktur modern, sampai saat ini, masyarakat sekitar Sungai Jeneberang tak meninggalkan katinting sebagai moda transporasi andalan.

Katinting adalah sebuah perahu kecil dengan mesin. Katinting tetap hadir di tengah gempuran transportasi modern yang beberapa di antaranya hadir dengan sistem online, meski angkutan umum ini tanpa alat navigasi canggih maupun alat keselamatan.



Bagi warga di Dusun Kaccia, Desa Bontolempangan, Kecamatan Bontolempangan maupun warga Dusun Tamala'lang, Desa Tamalerang, dan warga Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, katinting menjadi angkutan utama untuk menjangkau wilayah tertentu di Kota Makassar yang lebih maju sistem transportasinya.

"Sistem transportasi sungai jadi pilihan alternatif dan utama untuk mengatasi masalah jarak, kemudian waktu tempuh bagi warga tiga desa di Kabupaten Gowa menuju Kota Makassar. Karena solusi ini memiliki dampak sistemik yang positif terhadap kehidupan sekitarnya," kata Nur Zakaria Leo, warga Kabupaten Gowa kepada Liputan6.com, Senin, 10 April 2017.

Zakaria yang juga Head Departemen Geografi Universitas Negeri Makassar itu melanjutkan, bila sungai dimanfaatkan menjadi sarana transportasi, secara otomatis kedalaman, lebar, sampai sedimentasi sungai selalu terpelihara. Alhasil, banjir dapat teratasi.

Sebaliknya, bila sungai di perkotaan tidak dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, sungai akan menyempit dan dangkal karena tidak ada pemeliharaan dan perhatian rutin.

Tak ada pilihan bagi warga sekitar untuk tidak menggunakan Katinting sebagai angkutan utama dalam transportasi mereka.

Sampai saat ini, Sungai Jeneberang selalu dimanfaatkan sebagai akses transporasi sehingga sungai secara otomatis terpelihara dengan baik. Meski sejumlah bendungan dan dua jembatan penghubung sudah dibangun di sini, masyarakat tetap memilih katinting sebagai sarana transportasi mereka.

"Masyarakat sekitar daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang masih manfaatkan sungai sebagai media transportasi untuk ke Makassar. Kendati sejumlah peristiwa perahu terbalik dan meninggalnya penumpang sudah sering terjadi menimpa sistem transportasi tua tersebut," ujar Zakaria.

Pantauan Liputan6.com, ada tiga titik standing area atau tempat menunggu penyeberangan di Sungai Jeneberang di wilayah Mallengkeri Kota Makassar dengan kondisi apa adanya. Masyarakat selalu menunggu atau turun di tiga titik itu ketika menggunakan Katinting.

Cukup dengan uang sebesar Rp 2.000 per sekali menyeberang, baik warga Kota Makassar maupun Kabupaten Gowa, dapat menikmati serunya transportasi sungai tanpa alat navigasi dan alat keselamatan tersebut.

Salah satu pemilik warung di salah satu 'dermaga' Katinting, Tajuddin Daeng Nassa mengatakan, alat transportasi itu tak pernah sepi penumpang. Banyak masyarakat yang menggunakannya, seperti pedagang maupun buruh.

"Kios kecil ini saya buat untuk warga yang mau istirahat minum kopi. Sebab, mereka harus menunggu perahu dari seberang sungai, dan rata-rata warga Gowa itu menyeberang membawa sayur mayur. Selebihnya dari mereka yang setiap hari menyeberang berprofesi buruh," kata Tajuddin.

Video Terkini