Liputan6.com, Surabaya - Kalangan akademisi mengkritisi perkara korupsi pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) yang menjerat mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Sebab, perkara yang sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya itu sarat dengan persoalan administratif ketimbang pidana.
Pengamat hukum tata negara Refly Harun melihat jaksa sejauh ini sekedar mempermasalahkan persoalan yang masuk wilayah hukum administrasi. “Kalau saya ikuti di media, jaksa kok sepertinya belum menemukan mens rea (sikap batin melakukan perbuatan pidana),” ujar Refly dalam diskusi Mewujudkan Profesionalisme Manajemen BUMD di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (10/3).
Pengajar di Magister Ilmu Hukum UGM itu menambahkan, jaksa sekadar menemukan indikasi adanya kesalahan prosedur administrasi. Misalnya, benar atau tidaknya ada izin dari DPRD Jatim terkait pelepasan aset PT PWU.
Padahal dalam hukum administrasi pemerintahan, hal yang dipermasalahkan jaksa itu sebenarnya bisa diperbaiki.
Advertisement
Refly menambahkan, jika memang terjadi kerugian negara dalam proses pelepasan aset PT PWU, maka pertanggungjawaban hukumnya juga tidak harus dibebankan pada Dahlan sebagai direksi.
“Kalau sudah disetujui dalam RUPS sebenarnya tidak ada masalah. Tapi kalau masih dianggap terjadi kerugian negara ya korporasi yang seharusnya mengganti,” ujarnya.
Baca Juga
Dalam pandangan Refly, tidak semua kerugian negara bisa membuat seseorang dipidanakan. “Sekali lagi harus dicari niat jahat atau mens rea orang tersebut,” imbuhnya.
Dia mengaku risau dengan cara pandang jaksa dalam kasus Dahlan. Sebab hal itu bisa menimbulkan ketakutan di kalangan BUMN atau BUMD. Jika hal itu dibiarkan maka, kalangan profesional takut terjun sebagai direksi di BUMN atau BUMD.
“Kalau bukan profesional yang masuk, ya BUMN atau BUMD kita sulit menjadi perusahaan besar,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia berharap Presiden Joko Widodo menunjukan kekuatannya untuk mencegah terjadinya kriminalisasi. Terutama di BUMN atau BUMD. Sebab di BUMN dan BUMD memang terdapat celah hukum yang rentan.
Sementara mantan penasihat KPK Suwarsono Muhammad mengatakan, tidak mudah mengelola sebuah BUMN atau BUMD. Apalagi untuk sebuah perusahaan yang tidak sehat, katanya, diperlukan orang-orang yang punya terobosan.
“Mustahil menyehatkan perusahaan daerah dengan cara-cara yang normal. Yang dilakukan Pak Dahlan itu sebenarnya sebuah extraordinary,” ujar dosen yang dikenal sebagai ahli manajemen strategi itu.
Menurut dia, penjualan aset dalam perusahaan yang tidak sehat bisa menjadi sebuah jalan keluar. Sebab perusahaan yang tidak sehat sangat sulit mendapatkan pinjaman modal dari bank.
“Ketika keuangan perusahaan sulit, penjualan aset kadang juga murah karena kan dalam kondisi butuh uang,” katanya.
Menurut Suwarsono, sepanjang tidak mengambil uang untuk kepentingan pribadi, seharusnya penegak hukum tidak mempermasalahkan sebuah terobosan yang dilakukan direksi BUMN atau BUMD.
“Sebab mengelola BUMN atau BUMD itu sulit sekali, banyak jebakan hukumnya,” tegasnya.
Pengajar Fakultas Hukum UGM Richo Andi Wibowo mengatakan, jebakan-jebakan hukum direksi BUMN atau BUMD banyak terjadi karena lemahnya beban pembuktian dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kelemahan itu yang menimbulkan celah kriminalisasi terhadap direksi BUMN atau BUMD. Solusinya, pasal 2 dan 3 itu harus kembali diuji atau judicial review (JR).
“Jadi harusnya orang yang dinyatakan korupsi tipe merugikan keuangan negara itu pembuktiannya bukan lagi sekedar memenuhi unsur-unsur di pasal 2 dan 3. Tapi juga harus dibuktikan apakah orang itu tahu, berniat dan bertujuan melakukan korupsi,” katanya.
Richo berpandangan, judicial review terhadap pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab menurut peraih gelar doktor dari Utrecht University Belanda itu, apa yang ada dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak selaras dengan artikel nomer 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
“Padahal kita telah meratifikasi UNCAC atau Konvensi Antikorupsi PBB tersebut,” katanya.
Pada bagian lain, Sekjen Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) Syauqi Suratno mengatakan celah hukum pengelolaan BUMD selama ini memang menimbulkan keresahan. Kondisi itu membuat para profesional takut memimpin BUMD.
Tolak Tuntutan
Sebelumnya, Kuasa Hukum Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan pihaknya menolak semua atas tuntutan jaksa. Dia beranggapan, tuntutan yang dituduhkan Jaksa tak sesuai fakta persidangan.
Menurutnya, yang menjadi dasar JPU dalam penuntutan tersebut hanya berdasarkan keterangan Sam Santoso. Sam Santoso merupakan Direktur PT. Sempulur Adi Mandiri atau selaku pembeli aset di Kediri dan Tulungagung.
Padahal, lanjut Yusril, Sam Santoso tidak pernah dihadirkan sama sekali dalam persidangan. JPU hanya mengambil keterangan Sam Santoso dari berita acara, lalu dibacakan dihadapan persidangan. Namun faktanya, Sam tak pernah hadir dalam persidangan.
"Berkali-kali diminta untuk hadir selalu absen," kata Yusril usai persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat 7 April 2017.
Dia menyatakan pihaknya mempunyai alasan tertentu untuk menolak semua tuduhan yang ada dalam Dakwaan JPU. Misalkan, alat bukti, surat-surat yang diangkat dalam persidangan, keterangan ahli, maupun barang bukti, semuanya tidak menunjukkan bahwa Kliennya, atau Dahlan Iskan melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, dia menambahkan, terjadi kerancuan atas dakwaan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum. Misal, persoalan Perseroan Terbatas yang harusnya tunduk pada UU PT, namun disisi lain, JPU beranggapan asset tersebut masih dibawah wewenang BUMD.
"Jadi, mana yang harus dipilih, BUMD atau PT. Kalau memang itu Perseroan, harusnya ketentuan yang tidak diterapkan dalam UU Perseroan jangan dikaitkan. Jelas, kami menolak seluruh tuntutan Jaksa Penuntut untuk Umum. Dia (JPU) sengaja menuntut sebanyak-banyaknya agar pak Dahlan bisa tersiksa lahir batin," ujarnya.
Tak hanya itu, lanjut Yusril, jaksa menganggap pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jawa Timur tanpa mendapatkan izin dari DPRD Jatim sesuai keterangan sekretaris DPRD Jatim saat ini, yakni Ahmad Jaelani. Dalam keterangannya, Achmad Jaelani hanya membaca salinan surat dari DPRD ke Gubernur. Sebab dia baru menjabat Sekretaris DPRD pada 2014. Sedangkan kejadian berlangsung pada 2002-2003.
Padahal, kata Yusril, ada juga keterangan dari Mantan Ketua Komisi C DPRD periode 1999-2004, Dadoes Sumarwanto dan anggota komisi C Farid Alfauzi yang pernah dihadirkan sebagai saksi dalam sidang. Keduanya mengatakan pernah menerima surat perihal permintaan izin penjualan dan pembelian aset dari PT PWU Jatim.
Surat tersebut dibahas dalam rapat dengar pendapat di Komisi C selama enam bulan dengan mengundang para pakar, Biro Perekonomian Pemprov Jatim, Biro Hukum Pemprov Jatim, dan berkonsultasi ke Kementerian Dalam Negeri.
"Dari hasil rapat dan konsultasi itu, Komisi C membuat rekomendasi ke pimpinan DPRD. Isinya, PT PWU berbentuk perseroan sehingga penjualan dan pembelian aset di PT PWU mengikuti undang-undang PT Nomor 1 tahun 1995. Karena itulah, penjualan aset PT PWU tidak perlu izin dari DPRD Jatim," ucap Yusril.
Sehingga DPRD Jatim menyatakan tidak berwenang memberikan persetujuan kepada PT PWU, lantaran menganut tata kelola undang-undang PT. J"Jaksa mengabaikan keterangan saksi yang bersentuhan langsung dengan kejadian saat itu," katanya.
Advertisement