Liputan6.com, Cirebon - Pondok Pesantren (ponpes) Buntet Cirebon merupakan salah satu tujuan kunjungan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke wilayah Jawa Barat. Tak hanya karena berusia ratusan tahun, kisah pendirian Ponpes Buntet juga menarik untuk ditelusuri.
Ponpes Buntet didirikan oleh Mbah Muqoyyim yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Keraton Cirebon. Ayah Muqoyyim yang bernama Abdul Hadi merupakan putra dari Pangeran Cirebon dan Anjasmoro, yakni putri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara.
Ayah Muqoyyim tinggal di keraton dan mendapatkan pendidikan ketatanegaraan dan pelajaran agama Islam. Karena pengetahuan agamanya yang menonjol, ia kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kiai Abdul Hadi.
Mbah Muqoyyim juga sempat tinggal di keraton bersama kedua orangtuanya. Dari kedua orangtua dan guru di keraton lah, Muqoyyim muda mendapatkan pendidikan, baik agama Islam, ketatanegaraan hingga ilmu kedigdayaan.
"Melalui proses itulah, selain memiliki kemampuan dalam segi ilmu pengetahuan, Mbah Muqoyyim juga dikenal dengan kiai sakti mandraguna," tutur salah seorang keluarga Ponpes Buntet Cirebon Ahmad Rovahan kepada Liputan6.com di Cirebon, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, berdasarkan pendapat lain, Mbah Muqoyyim disebutkan tidak memiliki guru secara formal. Ia tidak mengenyam pendidikan pesantren atau datang berguru ke Kiai. Pengetahuan yang dimiliki oleh Mbah Muqoyyim didapatkan secara alami laduni (ilmu yang didapat tanpa proses belajar).
Baca Juga
Advertisement
Setelah dewasa, Mbah Muqoyyim ditunjuk untuk menjabat sebagai penghulu di Keraton Kanoman Cirebon. Namun, tutur Rovahan, ia memilih keluar dari Keraton dan mendirikan Pesantren Buntet pada 1750. Hal yang melatarbelakangi keputusannya saat itu adalah kekecewaan Mbah Muqoyyim terhadap keberpihakan Keraton pada kolonial Belanda.
Mbah Muqoyyim, ujar dia, pertama kali mendirikan Ponpes Buntet di Kampung Kedung Malang, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Saat itu, Mbah Muqoyyim membangun rumah yang sangat sederhana, langgar (musala) dan beberapa kamar santri.
"Saat beliau memberikan pengajian, ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk bergabung belajar mengaji kepada beliau. Akhirnya, pesantren yang didirikan Mbah Muqoyyim pun perlahan berkembang dan mulai dikenal," tutur Rovahan, Jumat, 14 April 2017.
Belanda yang mengetahui kegiatan dan keberadaan Mbah Muqoyyim hendak menyerang dan menangkapnya. Karena informasi tersebut sudah diketahui sebelumnya, Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri bersama saudaranya Kiai Ardi Sela menuju Desa Pesawahan Sindanglaut yang letaknya sekitar 10 km dari Pesantren Buntet.
Pesantren Buntet pertama yang didirikan Mbah Muqoyyim pun hancur dibombardir Belanda. Persembunyian Mbah Muqoyyim di Sindang Laut akhirnya tercium Belanda hingga akhirnya kembali menyerang dan mencari Mbah Muqoyyim.
Namun, lagi-lagi pencarian Mbah Muqoyuim oleh Belanda tidak ditemukan. Rovahan mengatakan, saat Belanda menyerang tempat persembunyian, Mbah Muqoyyim sempat diselamatkan oleh saudaranya dengan bersembunyi di dalam saku baju Kiai Ardi Sela.
"Setelah lolos dari pencarian Belanda, Mbah Muqoyyim pindah ke Pemalang, Jawa Tengah," kata Rovahan.
Mbah Muqoyyim merasa Cirebon tidak aman lagi karena Belanda mudah menemukan dirinya. Ia kemudian pindah ke Pemalang, Jawa Tengah, tepatnya di Kampung Beji yang sebenarnya bernama Kampung Kenanga. Kampung itu lebih dikenal dengan sebutan Beji yang merupakan singkatan dari lebe siji karena kampung itu hanya memiliki satu lebe.
Di Kampung Beji, Mbah Muqoyyim tinggal di rumah Kiai Abdussalam. Ia tinggal dan hidup sebagaimana santri lainnya. Namun, kehadirannya sempat membuat geger warga pesantren milik Kiai Abdussalam.
Para santri kaget saat melihat Muqoyyim sangat leluasa keluar masuk sebuah hutan yang dikenal sangat angker. Mbah Muqoyyim keluar masuk hutan untuk mencari kayu bakar.
"Padahal, beberapa orang yang berani masuk ke dalam hutan tersebut dipastikan tidak bisa kembali lagi," kata Rovahan.
Dengan perilaku yang dianggap istimewa oleh Kiai Abdussalam, Mbah Muqoyyim diangkat menjadi menantu. Ia pun tinggal di Pemalang hingga beberapa waktu kemudian sebelum kembali ke Cirebon.