Sukses

Kondisi Terkini Mbah Fanani Petapa Dieng yang Dikira Hilang

Meski tubuhnya hanya bisa meringkuk sambil berbaring, Mbah Fanani tetap didatangi banyak orang. Namun, tak semua bisa menemuinya.

Liputan6.com, Indramayu - Nama Mbah Fanani mendadak tenar usai dikabarkan telah dihilangkan paksa. Petapa asal Cirebon yang mendiami pinggir jalan Dieng Wonosobo, Jawa Tengah, sejakera 80-an itu nyatanya memang dijemput pulang ke Indramayu oleh keluarga sahabatnya, Abah Rojab.

Puluhan tahun bertapa, tubuh Mbah Fanani dibiarkan panjang tak terurus. Ia membiarkan tubuh kurusnya bertelanjang dada dan hanya berselimut, padahal Dieng dikenal memiliki temperatur rendah yang bikin menggigil.

Salah seorang penjemput Mbah Fanani, Toha menuturkan selama bertapa di Dieng Wonosobo, Mbah selalu berdiam diri di dalam tenda yang dibuat oleh warga setempat. Ia juga tak mengharap belas kasih warga meski kondisinya terbatas.

"Di Dieng, Mbah Fanani tidak pernah nerima pemberian orang, bahkan diberi makan pun jarang dimakan, kecuali sama Pak Ono, orang yang sebagian kecil lahannya digunakan untuk bertapa. Kalau dikasih makan ya dimakan," ujar Toha kepada Liputan6.com, Selasa, 18 April 2017.

Meski tak pernah berbicara, Mbah Fanani amat dihormati warga Dieng Wonosobo. "Bisa dibayangkan dinginnya daerah Dieng. Warga di sana saja pakai pakaian berlapis. Nah, Mbah Fanani hanya pakai selimut, celana pendek, dan tidak pakai baju bisa bertahan selama 20 tahun," ujar dia.

Saat dijemput pulang, ada kejadian menarik terkait rambut panjang Mbah Fanani. Rambut gimbalnya itu diperkirakan mencapai 2 meter lebih. Saat hendak mengangkat Mbah Fanani dari tenda ke mobil, Toha dan penjemput lain sempat terpeleset karena jalan basah akibat hujan.

"Mbah Fanani sempat menegur dan bilang hati-hati itu rambut saya yang diinjak. Begitu," kata Toha seraya menyebut kaki dan tangan Mbah Fanani lemah karena sudah lama tak dipakai bergerak.

"Saya juga sudah menawarkan diri untuk kaki nya Mbah Fanani dan Abah Rojab diobati tapi beliau menolak malah bilang biarkan saja," sambung dia.

Setiba di kediaman Abah Rojab di Padepokan Dampu Awang di Desa Sudimampir Lor, Blok Kalam Kulon, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Mbah Fanani selalu berbaring dan sesekali melihat ke mata tamu yang diterimanya masuk ke ruang istirahat.

2 dari 2 halaman

Bisa Ketahui Niat Tamu

Meski begitu, orang-orang tak hentinya berdatangan ke padepokan Abah Rojab. Mereka adalah saudara, kerabat, tamu dan kiai dari Desa Benda Kota Cirebon.

"Para tamu ingin melihat kondisi Mbah Fanani karena yang beredar di luar beliau itu diculik paksa, padahal memang sudah direncanakan sejak awal Januari tahun 2015," ujar dia.

Meski begitu, tidak semua orang yang datang ke padepokan bisa bertemu dan melihat langsung kondisi Mbah Fanani. Sebab, Mbah Fanani pun sudah mengetahui tujuan orang tersebut bertemu dengannya.

"Pernah ada ulama terkemuka datang bertemu dan mencoba meraih tangan Mbah Fanani secara paksa dan mencoba menciumnya. Melihat isyarat Mbah Fanani dan perbuatan sang ulama yang tidak sesuai peringatan awal sebelum bertemu, reflek saya pun langsung menamparnya dua kali. Saya bilang silahkan kalau tidak terima laporan ke polisi. Tapi karena dia merasa salah, ya akhirnya minta maaf," tutur Toha.

Selain ulama, kata dia, ada pula seorang pemuda yang ketahuan akan berbuat yang tidak disukai Mbah Fanani. Saat itu, kata dia, si pemuda datang dengan alasan bersilaturahmi padahal ada udang di balik batu.

"Beliau (Mbah Fanani) tepuk paha saya dua kali, isyarat kalau ada yang niat tidak baik. Ternyata benar dia (pemuda) bawa gunting. Katanya untuk memotong rambut gimbalnya beliau," ucap Toha.

Kendati demikian, dia mengaku belum mengetahui pasti tujuan utama Mbah Fanani dan Abah Rojab pindah ke Indramayu. Dia mengatakan, Abah Rojab yang juga asal Wonosobo Jawa Tengah hijrah ke Desa Dukuhjati, Kecamatan Kerangkeng, Kabupaten Indramayu, sekitar 1981.

Di desa tersebut, Abah Rojab tinggal di rumah orangtua anggota DPRD Kabupaten Indramayu Azun Mauzun. Saat Abah Rojab hijrah, kata dia, Mbah Fanani pun melanjutkan pertapaannya ke Dieng.

"Awalnya bertapa di Setieng empat tahun dan terus sampai ke Puncak Dieng hingga akhirnya di pinggir jalan Dieng Wonosobo, pemukiman warga. Sementara, abah saya (Rojab) tahun 1991 ikut program transmigrasi ke Kalimantan membawa 250 KK ke sana, termasuk saya," ujar Toha.

Video Terkini