Sukses

Artis 'Korea' dan Pesona Sakral Seba Baduy

Ribuan warga Suku Baduy Dalam dan Luar menempuh perjalanan sejauh 90 km dari kampung halaman mereka di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Bante

Liputan6.com, Serang - Negeri Ginseng, Korea Selatan (Korsel), memiliki segudang artis cantik dan ganteng dengan perawatan yang tak murah. Ternyata, sejumlah warga Suku Baduy memiliki paras seperti artis Korea.

Dengan kulit putih, mata sipit, dan berwajah oriental, tak terlihat jika Asmin merupakan warga Suku Baduy Dalam yang masih taat dan kuat menjaga budaya nenek moyangnya sejak ratusan tahun lampau.

"Pantangannya enggak boleh pakai sabun (mandi), enggak boleh pakai odol (sikat gigi). Gosokannya pakai batu kali bisa, pakai honje juga. Keramas pakai honje, sikat gigi pakai sabut kelapa," ucap Asmin, warga Suku Baduy Dalam, yang ditemui di sela-sela Seba Baduy, di Pendopo Gubernur Banten, Kota Serang, Sabtu, 29 April 2017.

Warga Cibeo yang berpenduduk sekitar 600 jiwa itu pun memiliki pantangan lainnya, seperti menanam cengkih dan kopi sesuai aturan adat.

Sekitar 2.000 warga Suku Baduy Dalam dan Luar menggelar proses adat Seba sejak 28 April hingga 30 April 2017. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

"Buat tamu enggak boleh foto-foto, kalau melanggar ada sial," ujar dia dengan suara rendah.

Sekitar 2.000 warga Suku Baduy Dalam dan Luar menggelar proses adat Seba Baduy sejak 28 April hingga 30 April 2017. Ritual sakral ini telah berlangsung sejak ratusan tahun lampau.

2 dari 3 halaman

Jalan Kaki Sejauh 90 Km demi Abah Gede

Sekitar 2.000 warga Suku Baduy Dalam dan Luar telah menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 90 kilometer dari kampung halaman mereka di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Mereka bersilaturahmi dengan sejumlah bupati dan Gubernur Banten, selaku pimpinan tertinggi di provinsi.

Warga Suku Baduy Dalam atau Urang Kanekes berjalan kaki tanpa alas keluar masuk hutan, kampung dan berjalan di tepian sawah sembari membopong hasil bumi dan laksa. Sebuah makanan "rajah" yang telah ditirakati dengan berpuasa selama tiga bulan lamanya atau biasa disebut puasa Kawalu.

Sekitar 2.000 warga Suku Baduy Dalam dan Luar menggelar proses adat Seba sejak 28 April hingga 30 April 2017. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

"Sebuah makanan yang diolah dari padi pilihan yang dibuat di akhir proses adat dengan berpuasa selama tiga bulan, puasa Kawalu," ujar Eneng Nurcahyati selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banten, yang ditemui di sela-sela prosesi Seba Baduy, di Pendopo Lama Gubernur Banten pada Sabtu, 29 April 2017.

Laksa yang dibungkus dengan daun kering lalu diikat berbentuk segi empat itu diserahkan kepada Abah Gede atau Gubernur Banten sebagai simbol eratnya tali silaturahmi dan penghormatan yang diberikan oleh orang Baduy kepada pemerintahan.

Hasil alam Urang Kanekes itu juga bermakna bahwa alam telah menyediakan segala macam kebutuhan manusia. Dengan demikian, setiap makhluk yang tidak gagal di muka Bumi harus bisa saling menjaga dan menghormati tanpa merusak alam.

"Ngalaksa sasaka sangga buana, yang mengajarkan kita untuk menjaga alam," tutur wanita berkacamata ini.

Urang Kanekes atau yang akrab disapa Suku Baduy, khususnya Suku Baduy Dalam berjalan kaki tanpa alas sejak Jumat, 28 April 2017 dari perkampungan di Kanekes dengan tujuan pertamanya menemui Ibu Gede atau Bupati Lebak. Lalu, perwakilan Baduy Dalam dan Baduy Luar pada Sabtu, 29 April 2017, berjalan untuk menemui Ibu Leutik atau Bupati Pandeglang.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju Pendopo Gubernur Banten di Kota Serang, untuk bertemu Abah Gede atau Gubernur Banten sebagai puncak tradisi adat Seba Baduy. Hingga pada penutupnya, mereka bersilaturahmi dengan Ibu Leutik lainnya, yakni Bupati Serang pada Minggu (30/4/2017).

3 dari 3 halaman

Kelelahan, Seorang Warga Suku Baduy Pingsan

Seba Baduy suatu ritual sakral bagi Urang Kanekes. Masyarakat Suku Baduy Dalam pun berjalan kaki sejauh 90 kilometer dari kampung mereka Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, untuk melaksanakan prosesi adat Seba Baduy.

Namun, seorang anggota Suku Baduy terkapar karena kelelahan setelah berjalan kaki sejauh itu.

"Tensi darahnya dari 105/70 jadi 117/80 setelah kita tangani. Kelahan habis jalan. Soalnya jalan dari Kanekes," kata dokter Kristina, tenaga medis dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten, saat ditemui di lokasi Seba Baduy, Pendopo Gubernur Banten, Sabtu, 29 April 2017.

Tim media pun segera mengecek tanda vital "Sang Petapa" yang berjalan kaki di atas tanah aspal saat terik matahari masih di batas kepala.

"Kasih oksigen, cek tanda-tanda vital, dikasih antasida (obat mual) sama paracetamol (obat pusing). Kasih minum, kasih obat, suruh tiduran," kata Sri Kartinah, perawat dari Dinkes Banten saat memberikan obat di tempat yang sama.

Ribuan warga Baduy berjalan kaki memadati jalan-jalan utama di Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (28/4) untuk merayakan tradisi Seba Baduy.

Sedangkan, menurut Mulyono dari Suku Baduy Luar mengatakan bahwa dirinya bersama teman-temannya tak biasa berjalan di atas aspal di kala siang hari. Kondisi ini membuat kakinya panas dan melepuh.

"Kalau pakai alas kaki sih enak, cuma capek fisik aja. Kalau ini kan panas ke kaki," kata Mulyono.