Sukses

Fenomena Seks Gonta-ganti Pasangan dan Kampung Peduli AIDS

Perilaku seksual berisiko dengan bergonta ganti pasangan disinyalir semakin marak terjadi di Kota Cirebon.

Liputan6.com, Cirebon - Perilaku seksual berisiko dengan bergonta ganti pasangan disinyalir semakin marak terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon mencatat, sepanjang tahun 2000 hingga saat ini, jumlah penderita Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Kota Udang mencapai 639 kasus.

Kepala Dinkes Kota Cirebon Edi Sugiarto mengatakan, tingginya kasus HIV/AIDS itu disebabkan karena Kota Cirebon merupakan kota transit bagi warga dari berbagai daerah.

"Maka, peluang terjadinya seks bebas juga tinggi. Jumlah kasus yang kami catat terbilang tinggi juga," ucap Edi, akhir pekan lalu.

Edi mengaku prihatin dengan adanya ibu rumah tangga yang juga mengidap HIV/AIDS. Meski tidak berperilaku menyimpang, mereka tertular dari suami mereka yang kerap bergonta-ganti pasangan.

Sebelumnya, kasus penularan HIV/AIDS di Kota Cirebon dari pemakaian jarum suntik. "Saat ini memang sudah bergeser pada perilaku hubungan seksual yang bergonta-ganti pasangan," kata dia.

Dari 639 penderita HIV/AIDS, tidak seluruhnya merupakan warga Kota Cirebon. Dia mengungkapkan, sebanyak 330 orang dari 639 orang itu berasal dari luar Kota Cirebon.

Adapun Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon, Sri Maryati menyebutkan, kasus HIV/AIDS di Kota Cirebon ibarat fenomena gunung es.

"Besar kemungkinan masih banyak kasus yang belum ditemukan karena orang-orang yang berperilaku risiko tinggi tidak semuanya mau diperiksa," ujar dia.

Sri mengakui, faktor risiko utama penularan HIV/AIDS di Kota Cirebon adalah melalui hubungan seks, baik heteroseksual maupun homoseksual. Sedangkan untuk pengendalian HIV/AIDS, pihaknya sudah melaksanakan program TOP, yang merupakan kepanjangan dari Temukan, Obati dan Pertahankan.

Untuk program Temukan, artinya temukan warga yang positif melalui penawaran tes HIV kepada semua orang yang memiliki perilaku berisiko, ibu hamil, pasien tuberkulosis, hepatitis, Infeksi Menular Seksual (IMS), dan pasangan ODHA (orang dengan HIV dan AIDS).

Selanjutnya adalah Obati penderita HIV/AIDS yang ditemukan, yaitu memberikan pengobatan bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria. Setelah itu, Pertahankan yang diobati.

"Pertahankan artinya memastikan pasien patuh minum dengan memberi pendampingan serta memberikan dukungan yang tepat dari keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan," tutur Sri.

2 dari 3 halaman

Klinik ARV Ada di Pangandaran

Sementara itu, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, kini memiliki layanan pengobatan bagi pasien HIV/AIDS. Klinik pengobatan Antiretroviral (ARV) pertama di Pangandaran itu ditempatkan di Puskesmas Parigi. Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata, secara resmi membuka Klinik ARV di Puskesmas Parigi, Senin, 8 Mei 2017.

Jeje mengatakan, keberadaan Klinik ARV itu sangat penting dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Pembukaan klinik ini sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melayani warganya.

Ia pun mengakui pihaknya akan berupaya meningkatkan infrastruktur dan kapasitas para petugas kesehatan dalam melayani warga, terutama di puskesmas. Selain itu, jumlah tenaga medis seperti dokter juga perlu ditambah.

"Contohnya di Puskesmas Parigi ini. Sekarang baru ada satu dokter yang bertugas. Mungkin ke depan minimal harusnya ada dua lagi dokter yang bertugas di sini," ujar Jeje dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com.

Adapun Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran, Yani Ahmad Marzuki menjelaskan, melalui Klinik ARV di Puskesmas Parigi, pasien HIV/AIDS di Pangandaran, nantinya tidak perlu berangkat jauh ke luar Pangandaran.

Selama ini, pengidap HIV/AIDS dari Pangandaran yang kondisinya sudah memerlukan pengobatan ARV biasanya mengakses pengobatan di RSUD Kota Banjar sebagai layanan yang terdekat.

"Selama ini ada 22 ODHA warga Pangandaran yang berobat di Kota Banjar dan lima di antaranya sudah mulai berobat di sini. Nantinya, kita upayakan agar seluruhnya bisa mendapat pelayanan di Puskesmas Parigi," ujar dia.

Yani berharap, Klinik ARV yang baru dibuka ini membawa manfaat bagi warga Pangandaran, khususnya yang terinfeksi dan terdampak HIV/AIDS. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran menunjukkan secara kumulatif ada 43 kasus HIV/AIDS yang tercatat.

"Saya harapkan, keberadaan klinik ini juga akan menambah semangat bagi ODHA untuk tetap menjaga kesehatannya," ia menambahkan.

ARV atau Antiretroviral adalah obat yang perlu dikonsumsi ODHA agar virus HIV di dalam tubuhnya tidak berkembang. Konsumsi ARV sejauh ini terbukti efektif dalam memperlambat perkembangan virus HIV, menurunkan angka kesakitan dan kematian ODHA, serta dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA.

Pembukaan klinik ARV di Puskesmas Parigi mendapat dukungan AIDS Healthcare Foundation (AHF) Indonesia yang bekerja sama dengan sejumlah pihak. Di antaranya Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran, dan Yayasan Mata Hati.

AHF merupakan organisasi HIV/AIDS internasional yang telah bekerja di 38 negara di dunia. Dukungan AHF untuk program HIV/AIDS di Indonesia, dimulai pada 2016 untuk dua provinsi prioritas, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tiga kabupaten di Jawa Barat menjadi wilayah prioritas kerja AHF, yakni Kabupaten Purwakarta, Indramayu, dan Pangandaran.

3 dari 3 halaman

Manfaat Kampung AIDS

Kasus HIV/AIDS tidak hanya ada di kota besar. Purbalingga, kota kecil di Jawa Tengah, juga tak luput dari penyakit mematikan yang menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya itu.

Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Purbalingga, sejak 2010 sampai 2016 terdapat 162 penderita HIV/AIDS dan 14 meninggal dunia. Pada 2017, dari Januari sampai April terdapat 27 penderita dan 2 orang meninggal dunia.

Untuk itu, berbagai upaya dilakukan untuk menanggulanginya. Salah satunya dengan pembentukan Kampung Peduli AIDS.

"Kampung Peduli AIDS merupakan wilayah di mana aparat dan masyarakat secara sadar dan peduli betapa pentingnya upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS," kata Ketua KPA Purbalingga Heny Ruslanri, Senin, 8 Mei 2017.

Menurut Heny, tujuan pembentukan Kampung Peduli AIDS ada tiga hal. Yaitu, menurunkan jumlah kasus baru HIV, menekan angka kematian dan meminimalkan stigma/diskriminasi penderita HIV/AIDS di masyarakat. Kampung AIDS ini akan menjadi rujukan bagi desa-desa/kelurahan di Purbalingga dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/ADIS.

"Penanganan jenazah penderita HIV/AIDS ada standar operasional dan prosedur (SOP). Beda dengan jenazah lainnya, sehingga perlu diadakan pelatihan kepada petugas pemulasaran jenazah," kata Heny.

Guna mendukung Kampung Peduli AIDS, Heny menekankan harus ada komponen yang mendukungnya. Misalnya, aparat desa/kelurahan, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), tokoh agama, bidan, tokoh masyarakat, RT/RW, kader Warga Peduli AIDS (WPA), dan Karang Taruna. Termasuk, remaja masjid, ustaz, puskesmas serta unit transfusi Palang Merah Indonesia (PMI).

Kemudian keterlibatan organisasi perangkat daerah (OPD), baik tingkat kabupaten maupun kecamatan, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

"Harapannya, semua desa di Purbalingga menjadi Kampung Peduli HIV/ADS dengan slogan, 'Jauhi virusnya, jangan jauhi orangnya'. Kita berharap jumlah penderita HIV-AIDS bisa berkurang ke depannya," ujar dia.

Henny menambahkan, sebagian besar penderita HIV/AIDS secara ekonomi termasuk golongan menengah ke bawah, sehingga perlu didukung oleh segenap masyarakat. Jika tidak ditangani, nantinya akan menambah angka kemiskinan di Purbalingga.