Sukses

Nyadran, Menziarahi Sejarah Diri

Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Sradha. Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur.

Liputan6.com, Magelang Pekan-pekan terakhir bulan Syakban, mayoritas pendukung kebudayaan Islam-Jawa, memiliki tradisi pembersihan makam leluhur. Tradisi ini disebut nyadran.

Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, yakni "Sradha". Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur. Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang Ibunda Tribhuwana Tunggadewi.

Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosa kata Ruwah merujuk pada kata Arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal.

Di wilayah Kabupaten Magelang, nyadran biasanya diselenggarakan oleh dusun atau desa yang memiliki pemakaman umum. Menurut peminat budaya di Muntilan, Agus Sutijanto, kadang penyelenggaraan nyadran diselenggarakan trah makam tertentu. Biasanya makam keluarga.

"Sejarahnya, dulu sebuah dusun terbentuk oleh seorang cikal bakal. Dari cikal bakal inilah, lahir dan berkembanglah anak, cucu, cicit dan seterusnya. Ketika anak keturunan itu tinggal di luar dusun awal, nyadran menjadi momentum reuni keluarga besar satu nenek moyang," kata Agus, Minggu (14/5/2017).

Mendoakan arwah leluhur adalah agenda utama dari tradisi nyadran. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Di banyak pemakaman umum, memang menjadi tidak jelas cikal bakal dusun yang ada. Warga berpijak pada beberapa dongeng. Memang menjadi tak terlalu penting membahas akurasi asal-usul sejarah dusun. Namun nyatanya tradisi nyadran mampu menjadi pemersatu dan masih berlangsung hingga saat ini.

"Karena pengaruh Islam, nyadran ditujukan untuk bersama-sama mendoakan arwah leluhur Allah SWT," kata Agus Sutijanto.

Penyelenggaraan nyadran diawali dengan kerja bakti membersihkan makam. Kemudian dilanjutkan dengan mendoakan arwah. Untuk setiap tempat memang bervariasi, namun umumnya adalah pembacaan Surat Yasin dilanjutkan tahlil.

"Saat datang, semua membawa nasi berkat. Ada juga yang membawa snack, atau bahkan nuk (nasi bungkus daun pisang). Nanti selesai berdoa nasi berkat, tumpeng, snack, nuk itu kemudian dibagikan," kata Mbah Sadak, salah satu sesepuh desa Sedayu, Muntilan.

2 dari 3 halaman

Bergeser

Mbah Sadak, tokoh sesepuh Desa Sedayu mengatakan bahwa tradisi nyadran saat dirinya kecil memang sudah berbeda dengan saat ini. Bukan saja makanan yang dibawa, namun juga upaya pembersihan makam.

"Sekarang yang jauh-jauh jarang mau pulang untuk nyadran. Mereka memilih mengirimkan uang sebagai pengganti nasi berkat atau makanan," kata mbah Sadak.

Pelaksanaan nyadran biasanya dilakukan pada pekan terakhir bulan Syakban. Hebatnya, pada hari pelaksanaan nyadran, masyarakat bangun lebih awal untuk mempersiapkan suguhan.

Selain untuk menjamu para kerabat dari luar dusun, sadranan juga berupa sajian nasi komplit dengan sayur, lauk-pauk, bakmi, tontho (bola-bola dari tepung campur kelapa), keper (ikan asin), peyek, hingga krupuk yang ditata di dalam keranjang.

Begitu matahari muncul, warga langsung ke tempat sadranan diselenggarakan dengan membawa urunan sajian sadranan-nya masing-masing. Selain berkat, mereka juga membawa "uang wajib" sebagai dana infak yang dikumpulkan untuk keperluan pemeliharaan areal makam.

Usai kerja bhakti warga selalu menyempatkan diri makan seadanya. (foto : Liputan6.com /edhie prayitno ige)

"Waktu saya kecil, biasanya anak-anak juga diberi uang saku yang diambilkan dari 'uang wajib' itu. Saat saya kecil uang sakunya Rp 5. Ada juga yang Rp 10. Itu setara dengan Rp 5.000-Rp 10.000 kalau saat ini," kata Mbah Sadak.

Di masa lalu, keranjang atau besekan tersebut justru menjadi perebutan bagi para bocah dan para kaum fakir miskin yang sedari awal menunggu di arena nyadran. Bahkan secara khusus, panitia menyediakan semacam kalangan agar pembagian bingkisan nyadran itu bisa berlangsung tertib. Adalah sebuah kebanggaan bagi seorang bocah yang mampu ngrentengi enam atau tujuh keranjang, sehingga harus memikulnya bersama kawan yang lain ketika membawanya pulang.

Di zaman dulu, barangkali tingkat kemakmuran masyarakat, dalam artian kecukupan pangan masih belum merata, sehingga masyarakat masih terlihat kemaruk dengan rebutan makanan. Saat ini, sudah sangat sedikit dijumpai para bocah yang berharap akan keranjang besekan makanan.

"Sekarang snggak ada lagi rebutan dengan pagar rigen (anyaman tempat menjemur tembakau rajangan). Malahan para tamu dari dusun yang lain pun sudah enggan untuk membawa keranjang makanan yang diberikan kepadanya," kata Mbah Sadak.

3 dari 3 halaman

Merawat Kebinekaan

Cerita hampir sama juga datang dari Soewarjo Mitro Soewarno. Kakek berusia lebih dari 90 tahun ini menyebutkan bahwa tradisi nyadran bukan hanya milik warga muslim. Meskipun doa yang dilantunkan mayoritas adalah doa kaum muslim.

"Itu kan Jawa. Memang doa yang dilantunkan adalah yasinan, tahlil, atau doa arwah lainnya. Tapi menurut saya, doa itu tidak mengenal agama. Ini tradisi jawa," kata Mbah Warjo.

Menurut Mbah Warjo yang tinggal di Kalibawang, masyarakat tak mau ribet dengan bawaan sekeranjang nasi komplit lauk-pauk tersebut. Karenanya ia sangat maklum jika nasi berkat itu banyak yang tak mengambilnya.

Ibu-ibu menyiapkan sajian makan bagi yang bekerja bhakti membersihkan makam. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

"Tradisi nyadran ini selain sebagai momentum mendoakan orangtua, juga untuk sarana ngumpul. Namun yang lebih utama adalah mengenang dan mengenal sejarah diri sendiri. Setiap orang punya sejarah. Punya kenangan. Dan nyadran adalah momentum pas untuk menziarahi," kata veteran TNI AD ini.

Nah, semoga tradisi nyadran sebagai salah satu kearifan lokal ini bisa bertahan dan menjadi momentum pemersatu berbagai perbedaan yang ada.

Video Terkini