Sukses

Mbah Fanani Anak Pejuang Kemerdekaan?

Mbah Fanani muda ternyata memiliki pengetahuan mendalam soal keislaman.

Liputan6.com, Cirebon - Sebagian besar warga Cirebon menganggap sosok Mbah Fanani bukan petapa biasa. Ia hanya bermodalkan sarung yang dijadikan selimut dan bercelana pendek saat bertapa lebih dari 20 tahun di kawasan Dieng Wonosobo yang terkenal dengan suhu dingin menggigil.

Di balik penampilan tak terurus dan pendiam cenderung nyeleneh, ternyata ia memiliki pengetahuan mendalam soal keislaman. Hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang keponakan Mbah Fanani bernama Kiai Ma'dun.

Dia bercerita, sejak muda Mbah Fanani sudah terlihat berbeda dengan manusia lainnya di Kecamatan Argasunya, Kota Cirebon.

"Yang beda dan diakui warga sekitar sini, Uwak saya sangat pendiam dan suka berinteraksi di luar logika manusia atau tidak rasional. Ilmu mengaji dan kajian Islamnya ternyata sangat baik semasa muda," kata dia, Senin, 22 Mei 2017.

Dari informasi yang didapat, Fanani merupakan anak kedua dari pasangan Mbah Benyamin dan Nyai Zahro. Benyamin, kata Ma'dun, merupakan salah satu kiai yang berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.

Salah satu peran Benyamin membela NKRI adalah saat ikut berperang dalam peristiwa 10 November 1946 di Surabaya bersama Kiai Hasyim Asy'ari dan Mbah Abbas. Mbah Fanani kemudian menikah dengan Nyai Zaenab dan dikaruniai satu anak bernama Nyai Mariam.

"Kakak dan adik dari Mbah Fanani sudah meninggal semua. Sisa Mbah Fanani saja," kata Ma'dun.

Nyai Mariam kemudian menikah dengan Kiai Muhammad Tosin dan dikaruniai tujuh orang anak. Sementara itu, Mbah Fanani memulai pertapaannya sekitar tahun 1950-an. "Saya juga mau klarifikasi, usia Uwak saya itu bukan 80-an, tapi sudah memasuki usia 107 tahun," ucapnya.

Sempat Bertapa di Cilamaya

Sekitar 1971 sampai 1972, Mbah Fanani ditemukan tengah bertapa di Kesambi, Lempeng, Cilamaya, Karawang. Berpenampilan seperti orang gila, Mbah Fanani pun menghadapi berbagai rintangan.

Kemudian antara 1978 sampai 1979, Mbah Fanani keluar dari tempat pertapaannya di Cilamaya Karawang. Ia sempat singgah beberapa hari di Desa Rejemeti, Jagapura, Kabupaten Cirebon, sebelum akhirnya menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun di Dieng Wonosobo.

"Sepulang dari Cilamaya dan sempat mampir di Jagapura, uwak saya menghilang lagi dan tiba-tiba tahun 2000an, saya dengar kabar ada di Dieng. Kami sekeluarga mengecek dan memperhatikan sifat-sifat beliau ternyata sama dan akhirnya kami memastikan itu Uwak saya dan akhirnya kami senang," ujar dia.

Dia mengatakan, Mbah Fanani dikenal sebagai sosok yang serius dan konsisten terhadap apa yang tengah dijalaninya. Selama di Dieng, Ki Ma'dun mengaku Mbah Fanani mengalami keistimewaan.

Saat itu, kata dia, keluarga tengah menjenguk Mbah Fanani di tengah cuaca hujan deras. Kondisi jalanan Dieng saat itu terancam banjir. Namun ajaibnya tenda yang didiami mMbah Fanani untuk bertapa tidak kemasukan air maupun terseret air.

"Di tempat uwak saya bertapa itu kan selokan dan banyak sampah, ketika air mengalir, sampah ikut mengalir. Nah anehnya, aliran sampah itu tidak melewati tenda tempat uwak saya bertapa," kata dia.

Sebelum diantar ke Dieng kembali, Ki Ma'dun mengaku sempat berbincang dengan Mbah Fanani. Saat itu, kata dia, Mbah Fanani memohon izin dan pamit kepada seluruh anggota keluarga besar di kediaman anaknya.

Mbah Fanani, kata Ma'dun, memberi isyarat kepadanya untuk tidak bergegas pergi meninggalkan tempat. "Saya sempat bertanya setelah setahun (bertapa) di Dieng mau tinggal di mana nanti, saya yang atur. Kata Uwak saya, itu bisa diatur," ujar dia.