Sukses

Vonis Ringan 7 Perekrut TKI Ilegal

Selain mantan polisi, enam terdakwa kasus perdagangan orang atau perekrut TKI ilegal asal NTT divonis tiga setengah tahun hingga lima tahun.

Liputan6.com, Kupang - Eduard Leneng, mantan polisi terdakwa kasus human trafficking (perdagangan orang) atau perekrut TKI ilegal divonis lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut para terdakwa dengan 10 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan dan wajib membayar kerugian terhadap ahli waris korban sebesar Rp 55 juta. Jika tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun penjara.

Selain Eduard, perekrut TKI ilegal lainnya, Martha Kaligula juga divonis lima tahun penjara. Sementara mantan pegawai Kantor Imigrasi Kupang Gostar Moses Bani divonis empat tahun penjara.

Terdakwa Putri Novita Sari divonis tiga tahun enam bulan. Selain itu, terdakwa Niko Lake dan Martil Dawat divonis tiga tahun penjara. Sedangkan terdakwa Martin Tefa divonis lima tahun penjara.

Ketujuh terdakwa juga diwajibkan membayar denda sebesar 200 juta subsider tiga bulan kurungan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan dan diwajibkan membayar kerugian terhadap ahli waris sebesar Rp 5 juta.

"Terdakwa terbukti melanggar Pasal 4 juncto Pasal 8 juncto 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang," ucap Ketua Majelis Hakim PN Kupang Nuril Huda, Rabu, 23 Mei 2017.

Hal yang memberatkan para terdakwa, menurut Nuril, perbuatan mereka menyebabkan penderitaan bagi keluarga korban Yufrida. Mereka bahkan membantah tidak mengirimkan Yufrida ke Malaysia.

Atas putusan itu, penasihat hukum para terdakwa kasus perdagangan orang atau perekrut TKI ilegal, Samuel Haning, siap mengajukan banding.

2 dari 2 halaman

Palsukan Dokumen TKI

Tiga terdakwa merupakan perekrut sekaligus pemalsu data diri TKI asal Desa Tupan, RT 03/02, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang ditemukan meninggal di Malaysia.

Modusnya, saat direkrut, korban tidak memiliki surat persetujuan dari orangtuanya. Karena tidak memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri, atas saran tersangka Eduard Leneng, dokumen serta data diri korban yang diperlukan sebagai syarat bekerja di Malaysia dipalsukan.

"Akta kelahiran, KTP, ijazah, dan dokumen lainnya dipalsukan oleh tersangka, serta memalsukan tanggal dan tahun lahir. Namanya juga diubah menjadi Melinda Sapai," ujar JPU Eirene saat persidangan, Selasa, 24 Januari 2017.

Menurut JPU, Yufrida awalnya direkrut tersangka Martha Kaligula dan dititipkan ke Kantor Pengerah Jasa TKI milik tersangka Putriana Novitasari. Selanjutnya, atas perintah Eduard Leneng, Martha bertemu dengan tersangka Gostar Moses Bani guna mengurus dokumen keberangkatan korban.

"Pemalsuan dokumen itu atas saran Eduard Leneng. Eduard juga sebagai sponsor keberangkatan TKI lain, Fridolina Usbatan," kata JPU.

Perbuatan terdakwa, menurut JPU, melanggar Pasal 4 dan Pasal 102 (1)A UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja. Namun, penasihat hukum tersangka, Samuel Haning, mengatakan tidak mengajukan eksepsi.

Yufrida lahir di Tupan, Timor Tengah Selatan pada 19 Juli 1997. Yufrida direkrut secara ilegal ke Malaysia pada 2 September 2015.

Namun, pada 15 Juli 2016, jenazah Yufrida dibawa ke rumah orangtuanya. Ketika keluarga korban melihat kondisi jenazah lewat foto, ada banyak jahitan menutup kulit.

Anggota keluarga Yufrida, Metu Selan, lalu melaporkan ke Polsek Amanuban Barat/Batu Putih. Diikuti dengan pemeriksaan jenazah oleh aparat Polres Timor Tengah Selatan dan RSUD Soe, Timor Tengah Selatan.

Data dan tanda-tanda fisik menunjukkan bahwa jenazah tersebut adalah Yufrida Selan. Namun pada paspor yang dikeluarkan oleh Imigrasi Kupang tertulis nama Melinda Sapay, alamat di Tuasene, dan lahir pada 15 Juli 1994.