Liputan6.com, Semarang - Tradisi Dugder untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan di Kota Semarang, Jawa Tengah, ternyata sudah menjadi peristiwa budaya yang menembus batas-batas demarkasi etnis, ras, dan agama. Meskipun sukacita dominan dirasakan kaum muslim, kegembiraan turut dirasakan seluruh warga Kota Semarang.
Prosesi tradisi Dugder yang sarat dengan warna islami, ternyata juga mengakomodasi warna-warna lain.
Dalam pandangan budayawan Semarang Djawahir Muhammad, hal itu menunjukkan bahwa Islam adalah Rahmatan lil 'Alamin. Djawahir menilai, sekalipun pelaksanaan tradisi Dugder semakin bergeser menjadi sangat turistik, namun penegasan itu masih terasa.
Advertisement
"Jika sebelumnya Dugder untuk memperjelas kapan dimulainya puasa, saat ini sudah menjadi karnaval dan peristiwa turistik semata. Tapi saya senang karena Wali Kota mas Hendi ini sangat pintar menjadikan Dugder lebih kekinian tanpa kehilangan jiwa Islamnya," kata Djawahir kepada Liputan6.com, Kamis, 25 Mei 2017.
Baca Juga
Pergeseran sebagai peristiwa turistik itu tak bisa dihindari karena saat ini komunikasi sudah sangat canggih. Tanpa Dugder, masyarakat tetap tahu kapan dimulainya puasa. Namun, lanjut Djawahir, yang utama adalah roh Dugder tidak hilang. Yakni menegaskan bahwa Islam adalah Rahmatan lil 'Alamin.
"Lihat saja dalam pawai atau karnaval itu enggak cuma rebana. Ada yang pakaian aneh-aneh, ada juga drum band dan lain-lain. Tak ada pertarungan nilai-nilai yang berdasar pada perbedaan pandangan agama," kata Djawahir.
Meski demikian, Djawahir menyoroti adanya evolusi dalam sosok Warak. Binatang imajinatif yang disepakati sebagai simbol akulturasi dan penyatuan berbagai etnis dan agama. Jika awalnya kepala Warak berbentuk garis lurus-lurus yang kaku, kini variasinya semakin banyak.
Dalam pengamatan Liputan6.com, malah ada yang mengambil kepala mirip kepala Lucifer, sosok malaikat yang berubah menjadi iblis karena menentang Tuhan. Mitos Lucifer ini hidup di belahan Eropa. Atas hal ini, Djawahir mengatakan bahwa kebudayaan bukanlah benda mati. Budaya selalu berkembang dan bersifat adaptif.
"Namun selalu merujuk pada pakem yang disepakati. Jika sudah bergeser jauh, berarti sudah sebagai bentuk penciptaan tradisi baru. Dan itu tidak berhak menyandang sebutan Warak," kata Djawahir.
Kemeriahan Dugder diakui Djawahir sudah menjadi milik warga Kota Semarang, bukan hanya milik umat Islam. Meskipun demikian, sebaiknya hal-hal mendasar yang sudah disepakati sebagai simbol bersama tidak dilanggar.
Nah, ini pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Semarang. Melestarikan tradisi dengan gaya kekinian, namun tak meninggalkan hal-hal prinsip dalam tradisi itu.