Liputan6.com, Jambi - Masjid Agung Al-Falah, demikian nama resminya. Namun, masjid terbesar di Provinsi Jambi ini lebih dikenal dengan sebutan Masjid Seribu Tiang. Padahal, jumlah tiangnya hanya berjumlah 280 buah saja.
Bangunan Masjid Seribu Tiang yang didesain terbuka tanpa sekat tetapi memiliki banyak tiang berada tepat di pinggir sungai terpanjang di Sumatera, Sungai Batanghari. Deretan ratusan tiang menjadikan masjid ini tampak megah.Â
Baca Juga
Hampir setiap hari, masjid yang didominasi warna putih itu banyak dikunjungi jemaah, terutama saat bulan suci Ramadan. Maklum, masjid ini adalah salah satu bangunan paling bersejarah di Jambi.
Advertisement
Pada 2015 lalu, salah satu sejarawan Jambi, Junaidi T. Nur mengatakan, Masjid Agung Al-Falah mulai dibangun pada 1971 dan selesai pada 1980. Kala itu, masjid ini diresmikan langsung oleh Presiden Indonesia saat itu, Soeharto, tepatnya pada 28 September 1980.
"Bangunan masjid berkonsep terbuka dan ramah serta asri. Terbuka tanpa sekat seperti pendopo. Hanya ada satu kubah besar di bagian atas tengah," ujar Junaidi.
Jejeran ratusan tiang di Masjid Al-Falah ini terbagi menjadi dua bentuk. Bentuk pertama merupakan tiang-tiang berukuran lebih kecil bewarna putih dengan tiga sulur ke atas menyangga sekeliling atap masjid sebelah luar.
Bentuk tiang kedua berupa tiang-tiang silinder berbalut tembaga keemasan menopang struktur kubah di area tengah bangunan masjid. Penggunaan material tembaga untuk menutup tiang tiang silinder ini memberikan kesan antik sekaligus megah pada interior masjid.
Lokasi masjid kebanggaan warga Jambi itu terbilang strategis. Tak jauh dari komplek masjid juga terdapat sejumlah tempat bersejarah, mulai dari pasar tradisional terbesar di Jambi, yakni Pasar Angsoduo, menara air bekas peninggalan Belanda serta Museum Perjuangan. Masjid ini juga cukup dekat dari Bandara Sultan Thaha Jambi yakni sekitar 20 menit.
Masjid yang beralamat di Jalan Sultan Thaha Syaifuddin Nomor 60, Legok, Kota Jambi ini berdiri di atas lahan seluas 2,7 hektare. Luas bangunan mencapai 6.400 meter persegi dan bisa menampung sekitar 10 ribu jamaah. Masjid ini tercatat baru sekali dirombak, yakni pada 2008, tanpa mengubah bentuk aslinya.
Â
Bekas Istana Sultan
Menurut Junaidi, jauh sebelum Masjid Al-Falah berdiri, tempat itu merupakan pusat kerajaan Melayu Jambi yakni Istana Tanah Pilih dari Sultan Thaha Syaifuddin. Nama Sultan Thaha Syaifuddin sendiri disematkan menjadi nama resmi bandar udara Jambi, yakni Bandar Udara Sultan Thaha.
Oleh masyarakat Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin dikenal sebagai pejuang gagah berani. Pada 1858, usai terpilih sebagai sultan, Sultan Thaha Syaifuddin membatalkan seluruh kerja sama dan perjanjian dengan Belanda yang sebelumnya disepakati oleh mendiang ayahandanya. Perjanjian tersebut disebut amat merugikan Kesultanan Jambi.
Keberanian Sultan Thaha Syaifuddin membuat pihak Belanda marah besar dan mengancam akan menyerbu istana sultan. Belum sempat menyerang, justru pasukan Sultan Thaha Syaifuddin lebih dahulu menyerang salah satu pos Belanda yang ada di daerah Kumpe, Kabupaten Muarojambi atau berjarak sekitar 20 kilometer dari Masjid Agung Al-Falah saat ini.
Sekitar 27 tahun berjuang melawan Belanda, istana Sultan Thaha Syaifuddin akhirnya jatuh dan berhasil dikuasai Belanda pada 1885. Oleh Belanda, istana tetap menjadi pusat pemerintahan sekaligus menjadi benteng pertahanan.
Hingga pada 1906, lokasi bekas istana kemudian berubah fungsi menjadi asrama tentara Belanda yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan karasidenan. Hingga pada masa kemerdekaan sekitar 1070-an, bekas istana tersebut masih difungsikan sebagai asrama TNI di Jambi.
Menurut salah satu pengurus Masjid Al-Falah, Muhammad Zubir, gagasan awal pembangunan masjid mulai mengemuka sekitar 1960-an. Rencana itu dicetuskan pemerintah Jambi saat itu bersama sejumlah tokoh muslim Jambi seperti M.O. Bafaddal, H. Hanafi, Nurdin Hamzah, dan gubernur saat itu Tambunan atau Nur Admadibrata.
"Salah satu alasan pembangunan masjid di lokasi bersejarah adalah mengacu pada lambang Jambi yang terdapat gambar masjid," ujar Zubir.
Dalam bahasa Indonesia, kata Zubir, Al Falah berarti Kemenangan. Kata menang bermakna memiliki kebebasan tanpa kungkungan. Ini sejalan dengan sejarah pembangunan masjid yang bermula dari sebuah perlawanan panjang Kesultanan Jambi untuk lepas dari kungkungan penjajahan Belanda.
Advertisement