Liputan6.com, Semarang - Ngawen adalah nama sebuah dusun di Kecamatan Muntilan, Jawa Tengah. Ada yang menarik dari dusun ini, yakni keberadaan sebuah candi yang kini dikenal dengan Candi Ngawen.
Keberadaan Candi Ngawen sudah disebut-sebut dalam prasasti Karang Tengah, di mana disebutkan bahwa candi ini dibangun sekitar 824 Masehi, yang disebut sebagai Venuvana. Venuvana sendiri adalah bahasa sansekerta yang artinya Hutan Bambu.
Agus, petugas dan penjaga Candi Ngawen bercerita bahwa berdasar catatan yang menjadi pegangan para petugas di Ngawen, candi ini ditemukan oleh N.W.Hoepermans, arkeolog Belanda. Diawali dengan temuan arca budha yang sudah rusak dan terkubur di kaki Gunung Pring.
Advertisement
"Ilmuwan itu penasaran dan berusaha menggali hingga dua atau tiga meter," kata Agus, Kamis (1/6/2017).
Baca Juga
Kabar temuan candi ini segera disampaikan kepada para arkeolog yang ada, hingga menarik perhatian Brandes Van Erp (tokoh restorasi Borobudur I) dibantu Vink untuk mencari temuan-temuan lain.
"Baru pada tahun 1911 Van Erp menemukan sebuah struktur bangunan yang memiliki desain unik dan diduga sebuah candi. Van Erp menduga candi ini hancur akibat letusan Gunung Merapi," kata Agus.
Pada akhirnya, candi ini pertama kali ditemukan dalam kondisi tertutup dengan pasir setebal dua meter. Teori dianggap masuk akal sebab Candi Borodudur yang memiliki jarak beberapa kilometer dari Candi Ngawen juga tertutup pasir akibat letusan Gunung Merapi.
Candi Ngawen terdiri dari lima candi kecil. Dua candi diantaranya memiliki arca singa jantan di keempat sudut bangunannya. Sedangkan di candi utama ada sebuah patung Budha yang kini kepalanya hilang.
Patung Budha ini memiliki sikap duduk Ratna Sambawa atau biasa disebut Dyani Budha Ratna Sambawa. Sedangkan sikap tangan dari Dyani Budha Ratna Sambawa adalah Bumi Sparca mudra. Sebuah posisi tangan ketika memanggil Dewi Bumi untuk membantu mengusir mara bahaya ketika Sidharta bertapa di bawah pohon bodi.
Singa Misterius
Â
Relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinara Kinari. Kinara kinari adalah makhluk kahyangan yang berwujud setengah manusia setengah burung. Di kahyangan, mereka bertugas menjadi penjaga kalpataru dan pertunjukan.
Kinara Kinari selalu diukir mengapit Kalpataru. Sebuah pohon kahyangan, hidup sepanjang masa, tempat menggantungkan segala asa. Pada dahan-dahannya digambarkan berjuntai berbagai macam perhiasan yang indah-indah, sehingga harus dijaga oleh makhluk-makhluk kahyangan kinara.
Candi Ngawen memiliki anomali teori percandian. Ia dilengkapi patung singa pada keempat sudutnya. Bentuk bangunannya nyaris mirip dengan bangunan candi Hindu. Hal ini disebabkan bangunan candi yang meruncing. Tetapi apabila diamati dengan seksama, candi ini memiliki stupa dan teras (undak-undak) yang menjadi simbol dalam candi-candi Budha.
Candi Ngawen mirip dengan Candi Mendut. Kompleks Candi Ngawen mencakup lima bangunan candi dengan letak berderet. Terdiri dari dua candi induk dan tiga candi apit. Candi induk merupakan candi utama, sedangkan candi apit adalah candi yang letaknya mengapit candi induk.
Candi apit juga diartikan sebagai bangunan pendamping candi induk. Karena candi induk diapit oleh candi apit, letak dari candi induk ada pada bangunan kedua dan keempat.
Keunikan seni arsitektur candi ini, salah satunya ditemukan pada arca singa yang menopang empat sisi bangunan candi yang berhasil direkonstruksi dari lima bangunan yang diperkirakan seharusnya ada. Gaya ukiran arca singa ini menyerupai lambang singa pada negara Singapura, dan berfungsi mengaliri air yang keluar lewat mulut arca.
Berbagai sumber sejarah menyebutkan bahwa  arca singa semacam ini tergolong sulit ditemukan pada bangunan-bangunan candi di Jawa. Namun, arca model ini dapat ditemui di beberapa kuil di wilayah Mathura di India.
"Sampai sekarang maksud dari bentuk arca singa yang mirip dengan gaya Singapura ini masih misterius," kata Agus.
Fungsi Candi Ngawen tidak jauh beda dengan candi-candi pada umumnya. Sesuai dengan coraknya, candi ini juga berfungsi sebagai tempat beribadah umat Budha. Yang menjadi pembeda dari Candi Ngawen ini ialah frekuensi digunakannya. Walau sama-sama sebagai tempat peribadatan, namun candi ini cenderung jarang dikunjungi.
Advertisement