Liputan6.com, Bandung – Selamat pagi dari Masjid Raya Bandung. Sejak subuh setiap akhir pekan, masjid ini lebih penuh dari biasanya. Pengunjung sengaja mengikut salat Subuh berjemaah di masjid yang berlokasi di Jalan Dalem Kaum No 14.
Masjid Raya Bandung merupakan tempat ibadah umat Muslim terbesar di kawasan Jawa Barat. Memiliki luas bangunan 8.575 m2, masjid ini mampu menampung sekitar 13 ribu jemaah sekali waktu.
Masjid Agung (sekarang Masjid Raya Bandung) dulunya lebih populer dengan sebutan Bale Nyungcung. Penamaan itu muncul karena bentuk atapnya nyungcung (lancip) seperti gunungan.
Dalam buku Masjid Raya Bandung: Dari Masa ke Masa, terbitan DKM Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, disebutkan masjid ini berdiri pertama kali pada 1812.
Bangunan masjid ketika itu masih berupa panggung tradisional yang sederhana, bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap rumbia dan dilengkapi sebuah kolam besar sebagai tempat mengambil air wudu.
Fungsi masjid ini sangat penting dalam tatanan massa bangunan di lingkungan alun-alun. Masjid Agung merupakan pusat kegiatan spiritual dengan berbagai aktivitas mulai dari salat berjamaah, mengaji, ceramah, diskusi agama, memperingati hari keagamaan seperti Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, Salat Ied hingga tempat melangsungkan akad nikah.
Advertisement
Baca Juga
Sejak didirikannya, Masjid Agung telah delapan kali dirombak selama abad ke-19. Kemudian, masjid dirombak lima kali pada abad 20. Pada 1826, bangunan Masjid Agung secara berangsur-angsur diganti menjadi bangunan berkonstruksi kayu.
Selang 24 tahun kemudian, bangunan di kawasan alun-alun diganti dengan bangunan tembok batu-bata dan atap genting atas prakarsa Bupati R.A. Wiranatakoesoemah IV.
Saat itu, Masjid Agung sudah dilengkapi pagar tembok di sekeliling masjid setinggi kurang lebih dua meter bermotif sisik ikan yang merupakan gaya ornamen khas Priangan. Beberapa waktu kemudian penampilan masjid berubah menjadi beratap tumpang susun tiga seperti Bale Nyungcung, berpintu gerbang dan berhalaman luas.
Pada 1900, Masjid Agung dibuat lebih representatif, lengkap dengan ciri khusus seperti masjid tradisional pada umumnya, yaitu bentuk segi empat dan atap tumpang susun tiga, serta dilengkapi mihrab, pawestren, bedug, kentongan dan kolam, tetapi belum dilengkapi dengan menara.
Arsitek Maclaine Pont merancang Masjid Agung dilengkapi dengan serambi (pendopo) depan dan sepasang menara pendek beratap tumpang susun di kiri dan kanan bangunan pada 1930.
Pada masa kemerdekaan, Masjid Agung Bandung yang juga sering disebut Kaum Bandung dipandang sebagai masjid yang paling cocok untuk dikatakan sebagai Masjid Ibu Kota Propinsi Jawa Barat.
Sentuhan Sukarno
Pada 1955, Masjid Agung dirombak total. Perombakan terjadi menjelang Konferensi Asia Afrika pada tahun tersebut. Berdasar rancangan Presiden RI ke-1, Soekarno, kubah yang berbentuk nyuncung diubah menjadi kubah persegi empat bergaya Timur Tengah. Bentuknya seperti bawang.
Selain itu, menara di kiri dan kanan masjid serta pawestren berikut teras depan dibongkar sehingga masjid terdiri dari sebuah ruangan besar dengan halaman yang sangat sempit. Masjid Agung Bandung dengan wajah baru ini digunakan untuk salat para tamu peserta KAA.
Kubah berbentuk bawang rancangan Soekarno hanya bertahan sekitar 15 tahun. Kubah itu rusak karena dihajar angin kencang dan kemudian diperbaiki pada 1967. Kubah bawang itu akhirnya diganti dengan kubah baru pada 1970.
Perubahan drastis tampak pada atap. Atap tumpang susun tiga yang dipakai sejak tahun 1850 diubah menjadi kubah model atap bawang bergaya Timur Tengah. Kedua menara pendek dibongkar, serambi diperluas, ruang panjang di kiri kanan masjid dijadikan satu dengan bangunan induk. Sebuah menara tunggal didirikan di halaman depan masjid sebelah selatan.
Kelebihan Masjid Agung Bandung tampak lebih menonjol ketika itu karena dari masjid ini tidak hanya terdengar suara alunan azan salat, tapi juga gemuruhnya suara orang-orang yang sedang menuntut ilmu mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai kakek nenek.
Perombakan total kembali dilakukan pada 2001. Pemerintah mencoba mengembalikan keagungan masjid yang nyaris tenggelam oleh aktivitas masyarakat sekitarnya. Perombakan yang diilhami oleh Masjid Nabawi di Madinah ini, mengubah Masjid Agung menjadi bangunan yang tidak hanya indah, tetapi juga nyaman dan aman.
Pada 2003, pembangunan Masjid Agung diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat, H.R. Nuriana. Namanya pun menjadi Masjid Raya Bandung karena secara resmi menjadi masjid Provinsi Jawa Barat.
Kini, Masjid Raya Bandung berdiri megah dan tampak eksotik dengan kehadiran menara kembarnya. Dengan luas tanah keseluruhan mencapai 23.448 m² dan luas bangunan 8.575 m², Masjid Raya Bandung dapat menampung sekitar 13.000 jamaah.