Liputan6.com, Solo - Pertandingan sepak bola tak lazim digelar di Pondok Pesantren Sindo Ludiro, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Selasa malam, 13 Juni 2017. Bola yang digunakan bukan bola karet, melainkan bola api. Untuk memainkan bola api, para santri pun harus diisi ilmu kanuragan terlebih dahulu supaya kakinya tidak terbakar saat menendang bola tersebut.
Wajah para pemain yang merupakan para santri pondok pesantren yang terletak di timur Sungai Bengawan Solo terlihat semringah. Sebab, mereka akan melakoni kegiatan hiburan usai melaksanakan salat tarawih dengan bermain bola api. Pertandingan bola api dilaksanakan di halaman pondok pesantren yang diasuh KH Agung Syuhada.
Untuk melakoni laga bola api, para santri pun harus menjalani ritual khusus, yaitu merendam kakinya di air. Air yang digunakan pun bukan sembarang air karena telah diisi "asma" atau telah dibacakan dengan doa-doa khusus oleh pengasuh pondok. Dengan air itu, kaki para santri tidak akan melepuh atau terbakar ketika menendang bola api alias kebal api.
Advertisement
Tidak seperti pemain bola profesional yang menggunakan seragam celana pendek dan kaus, namun mereka hanya memakai sarung dan bertelanjang dada. Meski demikian, mereka tetap lincah berlari dan menendang bola. Tak hanya itu, para pemain juga santai menggocek dan mengiring bola api yang berpijar.
Baca Juga
Â
Â
Dalam pertandingan bola api itu dibagi ke dalam dua tim, yakni tim NKRI melawan tim Teroris. ‎Tim NKRI berhasil mengalahkan tim Teroris dengan skor 2-0 tanpa balas. Selama berlangsungnya pertandingan tersebut para santri pun terlihat sangat menikmati permainan meskipun beberapa bola api yang terbuat dari kelapa dibalut kain tersebut apinya padam.
Salah satu santri, Mahmud Abdul Hamid mengatakan, permainan bola api sangat menyenangkan karena bola yang digunakan beda dengan pertandingan bola pada umumnya. Selain itu, teknik yang digunakan untuk menendang bola api juga berbeda.
"Persiapan yang dilakukan ya cuma teknik untuk memainkan bola api, karena ada tekniknya sendiri, tidak seperti main bola pada umumnya,"' kata dia di sela-sela permainan bola api di Pondok Pesantren Singo Ludiro, Selasa malam, 13 Juni 2017.
Hanya Senang-senang
Permainan bola api, menurut dia, biasanya dilakukan pada bulan Ramadan, tepatnya usai melaksanakan salat tarawih. Tahun ini merupakan yang ketiga kalinya dilakukan pertandingan bola api antar-santri. Permainan bola api membutuhkan keberanian, kekompakan dan kerja sama tim.
"Untuk main bola api dibutuhkan keberanian karena bolanya sendiri berwujud api. Pokoknya kita bermain bola api ini menarik dan mengasyikkan," ujar Mahmud.
Sementara itu, KH Agus Syuhada pengasuh Pondok Pesantren Singo Ludiro mengatakan, permainan bola api yang dilakukan para santri hanya kegiatan untuk bersenang-senang dalam mengisi malam Ramadan.
Untuk memainkan bola api, para santri harus memiliki ilmu kanuragan. Sebab itu, sebelum pertandingan dimulai, anak-anak akan disuruh merendam kakinya di dalam air yang sudah dibacakan "asma".
"Kakinya direndam air 'asma' dulu baru main. ‎Jadi sebelumnya air tersebut telah dibacakan doa-doa khusus seperti asmaul husna, ismul adhom, dan lainnya. Amalan tersebut dibacakan oleh orang tertentu sebelum permainan dimulai," kata dia.
Dengan amalan itu, para pemain berikhtiar tidak kebal dengan api, sehingga selama menjalani permainan bola api tidak ada satu santri yang merasakan kepanasan maupun terbakar kakinya.
"Santri perlu keberanian yang luar biasa karena ini yang dimainkan bola api, bukan bola pada umumnya. Dengan 'asma' tadi anak-anak pun percaya diri dan kebal api," kata dia.
Tak hanya itu, Agung mengatakan untuk melakoni debut permainan bola api, para santri jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadan telah menjalani ritual puasa putih selama lima hari.
"Santri sudah diwajibkan puasa mutih‎ untuk ilmu kekebalan. Semua santri di sini memang diajarkan ilmu kanuragan kekebalan," ujarnya.
Advertisement