Liputan6.com, Sumba Barat Daya - Malam takbiran sudah berlalu. Namun, ada banyak makna dan pesan yang diusung dalam perayaan menyambut Idul Fitri 1 Syawal 1438 Hijriah, di berbagai daerah di Tanah Air.
Di Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya. Guna mendukung keamanan menjelang Idul Fitri, pemuda lintas agama, baik Pemuda GKS dan Orang Muda Katolik (OMK) berkomitmen menjaga keamanan selama perayaan hari besar umat Islam tersebut. Pengamanan dimulai ketika malam takbiran, pawai obor hingga saat pelaksanaan salat Id.
"Pawai obor yang tentunya membutuhkan partisipasi kita dalam menjaga keamanan terlebih dari teman-teman OMK dan pemuda GKS. Termasuk juga pengamanan saat Salat Id di Masjid Al-Falah maupun Masjid Sayyid Sulaiman Waikelo, pada hari Minggu," ucap tokoh Masjid Al-Falah Waitabula, Haji Samsi Pua Golo kepada Liputan6.com, Minggu, 25 Juni 2017.
Samsi menjelaskan, pihaknya meminta OMK dan Pemuda GKS ditambah tim pengaman dari Polsek Loura dan Koramil 1613/02 Laratama untuk berjaga-jaga masing-masing di depan Bumi Indah dan Jalan Ranggaroko untuk Masjid Al-Falah. Sedangkan untuk Masjid Sayyid Sulaiman, Waikelo, setiap tim pengamanan ditempatkan di sepanjang jalan utama depan masjid tersebut.
Baca Juga
"Hal ini tentunya membuka mata semua pihak bahwa inilah toleransi yang sesungguhnya. Bahwa di daerah kita, sikap hormat-menghormati, menghargai antar umat beragama masih terjaga baik," ia menambahkan.
Adapun Ketua OMK Katedral Waitabula, Max Fernandez mengakui, pihaknya sangat antusias dengan kepercayaan yang diberikan tersebut. Hal ini mengingat sepanjang perayaan besar umat Katolik pun pihak remaja masjid turut ambil bagian menjadi pengamanan.
"Saya pikir ini juga rumah kami dan tentu wajib hukumnya kami terlibat menjaga toleransi yang ada selama ini dan kami siap membantu menjaga keamanan dalam perayaan Idul Fitri kali ini," ujar dia.
Sementara, Ketua OMK Stasi Watutakul, Stefanus B Lende menyatakan, pihaknya siap mengamankan perayaan Idul Fitri di Masjid Sayyid Sulaiman Waikelo, dengan gaya dan penampilan yang berbeda. Di mana tim pengaman akan memakai kalambo (pakaian adat) dalam menjalankan tugas sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya.
Babinsa Kopral Satu Yoris S Mere mengatakan, hal itu merupakan sesuatu yang patut dicontoh bahwa perbedaan yang ada selama ini tidak lantas menjadikan sebuah kelemahan. Namun, menjadi kekuatan tersendiri dalam merawat daerah ini maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kini tengah dilanda krisis akibat masuknya radikalisme.
"Ini contoh baik dan tentu kami berharap ini bisa dilanjutkan terus kerja samanya, agar NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi nyata di daerah kita," ujar dia.
Pawai Obor Meriah
Sementara itu, pawai obor yang diselenggarakan panitia hari besar Islam Masjid Agung Al Falah Waitabula yang diikuti ratusan muslim berlangsung meriah dan khusyuk. Pawai yang mengambil rute dari depan masjid melewati Bumi Indah, menuju pertigaan Pegadaian dan kembali ke masjid tersebut.
Pawai obor ini menjadikan malam takbiran di Kota Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya, NTT, begitu bermakna menyambut hari raya Idul Fitri yang berlangsung pada Minggu, 25 Juni 2017.
Advertisement
Ketua Panitia Hari Besar Islam, Arifin Ibrahim mengatakan, pawai obor ini menjadi yang keduanya setelah setahun sebelumnya dilaksanakan ajang serupa yang tentunya menyambut Idul Fitri.
"Untuk kali ini kita ambil rute yang singkat dengan menghadirkan anak-anak dalam pawai obor ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga bagi orang dewasa," ujar dia.
Soal pengamanan sendiri, imbuh dia, pihaknya bekerja sama dengan koramil, Polsek Loura, OMK Katedral, dan Pemuda GKS untuk membantu pengamanan pawai obor dan untuk salat Id.
Adapun Danramil 1613/02 Laratama, Kapten Mulyono menyatakan, pawai obor saat malam takbiran yang dijaga ketat oleh OMK dan Pemuda GKS adalah bentuk nyata toleransi yang harus terus dibuat. Sebab, bagaimana pun juga hal itu perlu sebagai upaya memperkuat kebinekaan dan NKRI yang diperjuangkan selama ini.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Pesan Toleransi di Malam Takbiran
Tak hanya di NTT, suasana meriah penuh toleransi sangat terasa dalam menyambut hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1438 Hijriah di Purwakarta, Jawa Barat. Selain tabuhan ritmik dan harmonis yang berasal dari 999 beduk saat Festival Beduk Purwakarta, kegiatan ini juga turut dimeriahkan para tokoh lintas Agama. Mereka diundang oleh pemerintah kabupaten setempat.
Salah satu tokoh lintas agama yang hadir dalam kegiatan yang sudah dilaksanakan untuk kali ke-10 tersebut, Pendeta Evorugilo dari Gereja Isa al Masih, Purwakarta menuturkan, ia mengapresiasi langkah Pemkab Purwakarta dalam memelihara tradisi keberagaman. Sebab, tak hanya komunitas Islam yang diundang, tapi juga komunitas agama lain turut diajak memeriahkan.
"Kita apresiasi ini, kita diajak, diikutsertakan, sungguh cermin dari persaudaraan seluruh masyarakat Purwakarta. Walaupun agama dan keyakinan yang kami anut berbeda," kata dia usai menabuh salah satu beduk yang terletak di pinggir Gedung Kembar, Jalan KK Singawinata, Purwakarta, Sabtu malam, 24 Juni 2017.
Apresiasi juga turut datang dari M Soleh (35), warga Purwakarta asal Pasawahan yang baru saja tiba dari Jakarta untuk menjalani libur Lebaran bersama keluarganya. Ia berujar, kegiatan ini selain mengingatkannya pada momen waktu kecil, juga menjadi ajang hiburan bagi keluarga yang ia boyong dari Jakarta.
"Saya senang di sini tidak ada imbauan 'Takbir on the Road', jadi bisa ajak keluarga dari Jakarta untuk nonton. Di sana kan tidak boleh, ya," ujar dia.
Hari Lebaran juga menjadi momen spesial bagi Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Pasalnya, ini menjadi hari raya terakhir baginya dalam jabatannya sebagai orang nomor satu di Purwakarta. Ia pun berpesan kepada seluruh masyarakat agar selalu menjaga persaudaraan sebagai warga, menjaga perilaku toleran agar kerukunan tercipta dalam kehidupan sehari-hari.
"Saya mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf kepada seluruh warga Purwakarta, karena belum sempurna dalam menjalankan kepemimpinan. Ini takbiran terakhir saya sebagai bupati. Semoga ke depan, suasana toleransi dan persaudaraan terus lestari di Purwakarta," ujar dia dengan nada lirih.
Sejak sore hari, sesuai arahan dari panitia acara, para peserta sudah terlihat berkumpul di sepanjang Jalan KK Singawinata. Setiap tim membawa beduk masing-masing lengkap dengan aksesori yang menghiasinya. Peserta yang terdiri dari Organisasi Perangkat Daerah, Desa/Kelurahan, BUMN, BUMD, dan komunitas masyarakat ini tampak tertib hingga acara selesai.
Advertisement
999 Beduk Sambut Malam Takbiran
Imbauan untuk tidak melaksanakan "Takbir on the Road" di daerah lain di Indonesia, tidak berlaku di Purwakarta. Warga di daerah yang terkenal dengan falsafah pembangunan ala Sunda ini bahkan diakomodir untuk kegiatan rutin jelang hari raya Idul Fitri tersebut melalui Festival Dulag.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, tradisi menyambut Idul Fitri dengan kegiatan Festival Dulag sudah berlangsung sejak 10 Tahun lalu saat dirinya pertama kali menjabat sebagai Bupati Purwakarta yakni Tahun 2008.
Sebagaimana biasa, menurut dia, akan ada sebanyak 999 bedug yang ditabuh dalam festival yang akan dilaksanakan di sepanjang Jalan KK Singawinata, Purwakarta tersebut.
"Ini kan tradisi yang sudah melegenda dalam rangka menyambut fajar 1 Syawal setiap tahun. Kami sudah melakukannya sejak 10 tahun lalu. Setiap tahunnya selalu meriah dan warga bisa tertib mengikutinya," tutur Dedi, Sabtu, 24 Juni 2017.
Panitia teknis dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebut, persiapan untuk kegiatan sudah dilakukan sejak jauh hari. Persiapan itu meliputi sosialisasi kepada kantor instansi pemerintah, instansi swasta, kantor badan usaha milik negara (BUMN), dan kantor badan usaha milik daerah (BUMD), dan seluruh komunitas yang ada di Purwakarta.
Hal ini dilakukan agar malam takbiran juga jalannya kegiatan berlangsung dengan tertib dan terpusat untuk mempermudah cipta kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat.
"Ini ajang berhadiah, jadi kita melombakan tabuhan dulag dari para peserta. Semua tim boleh ikut asal membawa beduk sendiri," ujar Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Heri Anwar, saat dikonfirmasi.
Heri menjelaskan, pihaknya telah menyiapkan berbagai kategori lomba, yakni mulai dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), BUMN, BUMD, desa/kelurahan, dan komunitas warga masyarakat.
Dari setiap kategori tersebut akan dipilih juara 1, 2, dan 3. Selain itu, menurut dia, panitia juga menyiapkan sebanyak 20 hadiah hiburan bagi peserta yang terpilih oleh dewan juri.
"Masing-masing kategori itu harus memenuhi kriteria harmonisasi, dekorasi, dan penampilan. Kita saring nanti juaranya, kita juga sediakan hadiah hiburan," tutur dia.
Tangkal Radikalisme ala Sleman
Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta, ribuan orang dari berbagai usia mengikuti Festival Takbir Keliling di Desa Sariharjo Utara, Ngaglik, Sleman, Sabtu malam, 24 Juni 2017. Uniknya, Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Sariharjo Utara mengangkat tema sejarah Islam untuk menangkal isu radikalisme yang dianggap merusak citra Islam di mata dunia.
"Tema ini diangkat untuk memberi edukasi dan pemahaman kepada banyak orang tentang sejarah dan ajaran Islam. Tujuannya juga untuk menangkal hal-hal yang merusak citra Islam (radikalisme)," ujar Galih Wicaksana selaku Ketua PHBI Sariharjo Utara.
Festival ini diikuti 15 kontingen yang berasal dari jemaah masjid di dusun yang terdapat di Sariharjo Utara. Di antaranya, Dusun Rejondani, Ngetiran, Wonorejo, Wonokerso, Poton, Gondanglegi, Tambakrejo, Kamdanen, Ringinputih, Bakalan, Plumbon, dan Tegalweru. Setiap kontingen terdiri dari 100-300 orang.
Mereka pun menampilkan cerita yang sesuai dengan tema. Misalnya, jemaah Masjid Istiqomah di Dusun Kamdanen, menampilkan cerita soal Nabi Musa, remaja Masjid Tegalweru mengangkat cerita tentang penyebaran agama Islam di Indonesia dengan mengarak replika Masjid Demak.
Ada pula yang bercerita tentang Perang Badar, penyebaran agama Islam lewat wayang kulit, dan sebagainya.
Peserta pawai berjalan kaki menempuh jarak sepanjang enam kilometer. Pawai dimulai dari Balai RW Tegalrejo-Dusun Tambakrejo-Jalan Gito Gati-Jalan Palagan-Ngetiran-Poton-Tambakrejo hingga Balai RW Tegalrejo.
Kegiatan ini sudah digelar sejak 10 tahun lalu. Tema yang diangkat berbeda-beda, menyesuaikan keadaan maupun isu yang berkembang di masyarakat. "Tema tahun lalu, kesederhanaan dalam Islam," ujar Galih.
Advertisement
Serunya Festival Meriam Karbit
Kemeriahan malam takbiran terlihat pula di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu malam, 24 Juni 2017. Ribuan warga berbondong-bondong ke tepian Sungai Kapuas. Mereka ingin melihat secara dekat Festival Meriam Karbit yang digelar oleh pemerintah setempat.
Suara dentuman keras meriam karbit terdengar menggelegar sahut-menyahut di pinggiran Sungai Kapuas. Festival Meriam Karbit ini dipusatkan di Gang Kamboja, Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak. Ada sekitar 44 kelompok yang ikut, sedangkan untuk jumlah keseluruhan adalah 259 meriam karbit.
Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis menegaskan, pengakuan pemerintah terhadap kebudayaan Melayu, terutama menyangkut meriam karbit, tidak boleh lagi ada pihak lain yang mengklaim bahwa ini miliknya, selain orang Melayu Pontianak.
"Ini kita perjuangkan all out, baru berhasil. Ini adalah milik budaya orang Melayu Pontianak," kata Cornelis.
Ia menjelaskan, selain meriam karbit, ada juga termasuk paceri nanas. Menurut dia, kalau sudah didaftar dan masuk daftar Kementerian Hukum dan HAM menjadi trademark.
"Itu tidak bisa lagi dikomplain atau diklaim oleh pihak mana pun," kata Cornelis.
Adapun Wali Kota Pontianak, Sutarmidji menilai, Festival Meriam Karbit tahun 2017 lebih meriah dibanding tahun sebelumnya. Sebab di pinggir Sungai Kapuas ada berbagai hiasan lampu dan dekorasi yang membuat suasana kian semarak.
Sutarmidji menjelaskan, penurapan sampai ke Jembatan Kapuas I dari Pelabuhan Senghie sudah selesai.
"Tahun ini rencananya pemerintah pusat membuat steigher atau waterfront-nya. Mudah-mudahan tahun depan bisa selesai juga dari Seng Hie hingga ke Jembatan Kapuas I," kata Sutarmidji.
Selanjutnya, Pemerintah Kota Pontianak akan menata titik-titik untuk menempatkan meriam karbit. "Dan itu tidak hanya digelar pada malam Idul Fitri atau Hari Jadi Kota Pontianak, tapi juga hari-hari tertentu siapa pun bisa menyulut meriam karbit ketika berkunjung ke Kota Pontianak," ujar dia.
Sutarmidji berjanji, kawasan pinggiran Sungai Kapuas ini akan menjadi ikonnya Pontianak dan menjadi pusat wisata kota tersebut. Tahun ini steigher di Tambelan Sampit selesai dari Masjid Jami hingga ke Jembatan Kapuas I.
"Penataan kawasan Beting secara keseluruhan juga selesai tahun depan, sehingga nanti pinggiran sungai ini nyaman, orang bisa bersepeda menyusuri pinggir sungai mulai dari belakang Bank BCA Tanjungpura hingga ke Jembatan Kapuas I," tutur Sutarmidji.
Ia memaparkan, meriam karbit ini sudah didaftarkan hak patennya beserta Tugu Khatulistiwa. Hanya saja kemarin ada sedikit kekeliruan. Sebab yang mendaftarkan semestinya badan hukum atau lembaga seperti pemerintah kota, sedangkan waktu itu yang mendaftarkan atas nama wali kota.
"Kalau itu sudah dilengkapi, insyaallah akan keluar, sehingga sudah dipatenkan. Termasuk, terakhir paceri nanas mau dipatenkan," Wali Kota Pontianak itu memungkasi.