Sukses

Cerita Ulat Bakar dari Pohon Kehidupan Warga Papua

Ulat bakar merupakan penambah rasa gurih dari olahan sagu Papua.

Liputan6.com, Papua - Di daerah Korowai, Kabupaten Boven Digul, Papua, penganan sagu biasa dibakar dengan menggunakan ulat sagu untuk menambah rasa gurih. Warga setempat mengolah sagu dengan cara dibakar dengan batu.

Sebelumnya, sagu dan ulat sagu dibungkus bersamaan dalam daun pisang, lalu bungkusan tersebut diletakkan di bawah batu-batu yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan api.

Sagu bakar batu ini butuh sekitar 1-2 jam hingga matang dan dapat dikonsumsi. Lamanya memasak, tergantung pada tebal atau tipisnya sagu yang dibakar.  

Sagu bakar batu tak hanya dicampur dengan ulat sagu, tetapi bisa juga dicampur dengan sayuran lainnya. Bahkan, ulat sagu bisa digantikan dengan ikan ataupun irisan ayam. 

"Makanan ini bisa disajikan pada saat pesta adat atau pesta ulat sagu di kampung. Sagu bakar batu tak hanya dicampur dengan ulat sagu, tetapi bisa juga ditambah dengan sayur-sayuran lainnya yang dibungkus," kata Bernardus Murumere, pemuda Korowai yang ditemui di Kota Jayapura, Jumat, 30 Juni 2017.

Bukan hanya kaum pria yang mencari nafkah, kaum perempuan juga berjibaku mengolah apapun dari pohon kehidupan, termasuk ulat. (foto : Liputan6.com / khatarina janur)

Selain di Korowai, masyarakat Sentani, Kabupaten Jayapura, juga memiliki cara berbeda untuk mengolah tanaman yang disebut warga sebagai pohon kehidupan itu.

Sagu yang oleh masyarakat Sentani disebut ouw disajikan dengan cara dibakar atau dipanggang. Selanjutnya, sagu yang telah diolah dicampur dengan beragam lauk lainnya, seperti sagu dicampur dengan ikan, lalu dibungkus daun pisang dan dibakar.

Ada juga ouw kempeng, yakni sagu yang dicampur dengan kelapa dan jamur, sagu dicampur dengan daun pakis, hingga sagu dicampur dengan irisan kelapa muda lalu dibakar dan ada juga yang rasanya manis, yakni sagu yang dipanggang setelah dicampur dengan gula merah. 

Namun, popularitas sagu sebagai makanan pokok masyarakat Papua mulai tergeser dengan beras seiring berjalannya program raskin hingga ke pedalaman.

Untuk membangkitkan kembali sagu ke tengah masyarakat, komunitas pencinta sagu Papua pun mulai menetapkan Hari Sagu pada 21 Juli. 

Apalagi di Provinsi Papua yang terbagi menjadi lima wilayah adat, memiliki cara dan keunikan tersendiri dalam mengolah sagu sebagai penganan yang penuh gizi.

 

2 dari 2 halaman

Pohon Kehidupan Papua

Pohon sagu bagi masyarakat Papua sebagai pohon kehidupan, tanaman yang paling tinggi nilainya. Seperti kelapa, hampir semua bagian pohon sagu memberi manfaat bagi warga.

Akar sagu dapat memberikan sumber kehidupan bagi makhluk hidup di sekelilingnya, misalnya ikan di pinggiran hutan sagu dan kehidupan bagi tumbuhan jenis paku atau jamur sagu yang banyak mengandung vitamin. 

Lalu, sebagai papan, biasanya kulit sagu dapat digunakan oleh masyarakat Papua dalam pembuatan lantai rumah pohon atau atap rumah. 

Sementara nilai sandang pohon sagu, biasanya daun sagu digunakan untuk pakaian bagi kebanyakan masyarakat di wilayah Selatan Papua, Suku Korowai, Asmat, dan sekitarnya. 

Komunitas tukang masak Papua, The Jungle Chef Community, Charles Toto menyebutkan berbagai olahan sagu dari Papua dapat menghasilkan berbagai jenis makanan.   

"Pati sagu merupakan pengganti karbohidrat. Bisa diolah menjadi papeda ataupun sagu yang dibakar dengan ulat sagu atau tumbuhan lainnya. Ulat sagu merupakan protein yang mudah ditemukan di hutan," kata Charles, chef yang selalu menggunakan bahan lokal Papua dalam mengolah makanannya. 

World Wide Fund for Nature Indonesia-Region Sahul Papua menyebutkan hutan sagu di Papua terus berkurang, akibat pembangunan dan pemanfaatan lahan hingga investasi lahan. 

"Sampai saat ini hutan sagu Papua telah berkurang 1,2 juta hektare," kata Peter Roki Aloisius selaku Northern New Guinea Leader, WWF Indonesia – Papua Program.

ulat sagu

WWF minta semua pihak untuk melakukan perlindungan terhadap hutan sagu di Papua. Potensi hutan sagu Papua sebaiknya dikelola untuk kawasan perlindungan, karena sagu merupakan identitas budaya dan makanan pokok masyarakat setempat. 

"Potensi yang saat ini masih diandalkan adalah Distrik Lereh di Kabupaten Jayapura, lalu di Sentani," katanya. 

Penanaman kembali pohon sagu juga mesti dilakukan oleh semua pihak, agar hutan sagu tak punah. Apalagi, perkembangan satu batang pohon sagu bisa mencapai 20 tahun baru dapat dikonsumsi kembali. 

"Kita harus berkomitmen, bahwa hutan sagu tak boleh diganggu gugat," jelasnya.