Liputan6.com, Sentani - Suasana hening dan haru menyelimuti Hanggar Pesawat AMA (Associated Mission Aviation) di Bandar Udara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Dua meja berwarna putih disiapkan di tengah ruangan seluas 100 meter persegi, yang biasa digunakan untuk ruang perawatan pesawat AMA. Sekitar 50 kursi juga disiapkan di sebelah kanan dan kiri meja itu.
Sejumlah karyawan AMA yang berseragam biru terlihat mengatur kursi dan membersihkan lokasi yang direncanakan menjadi tempat peristirahatan terakhir pilot Wouter Moulders, warga negara Belanda, dan kopilot Valens Ido Naibaho, warga negara Indonesia yang ditemukan tewas bersama dengan pesawat AMA jenis Pilatus Portes dengan nomor registrasi PK-RCX di atas ketinggian 8.500 kaki atau sekitar 2.590 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Advertisement
Baca Juga
Pesawat berbadan kecil buatan Februari 1998 yang biasa mengitari pedalaman Papua itu hancur berkeping. Pesawat itu diduga menabrak Gunung Napua, Kampung Walaik, Kabupaten Jayawijaya.
Kepala AMA Papua, Djarot Soetanto menyebutkan, saat penerbangan dari Wamena ke arah Darakma cuaca memang dikabarkan kurang bersahabat. Namun, masih layak untuk terbang, apalagi pesawat tersebut rutin dirawat.
"Cuaca di Wamena saat itu agak gelap, namun tidak ada perintah untuk membatalkan penerbangan, karena masih dianggap untuk laik terbang," kata Djarot, Kamis, 6 Juli 2017.
Pesawat berwarna dasar putih dengan list biru dan merah ini ditemukan hancur pada bagian depan. Lalu, dua sayap mengalami patah dan terlepas dari badan pesawat, sementara ekor pesawat utuh. Pesawat AMA ditemukan hancur usai dikabarkan hilang kontak setelah lepas landas dari Bandara Wamena pada Rabu, 5 Juli 2017.
Namun, dua orang kru pesawat dan tiga orang penumpang ditemukan utuh dan dapat dikenali, hanya saja beberapa bagian tubuh korban mengalami patah tulang.
"Pilot akan dimakamkan pada Sabtu besok di Kampung Sereh, Sentani dan kopilot akan dimakamkan di Klaten," ujarnya.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Uji Nyali
Penerbangan ke wilayah Pegunungan Tengah Papua memang selalu mendebarkan. Walau rute penerbangan terkesan singkat, untuk terbang pada wilayah pegunungan Papua selalu membuat jantung berdegup kencang.
Bayangkan saja, penerbangan ke wilayah pegunungan selalu melewati celah gunung, lembah, dan sungai. Bahkan, tak jarang, penerbangan di pegunungan Papua selalu menemui cuaca yang sering berubah secara tiba-tiba.
"Medan Papua adalah medan yang unik. Cuaca cepat berubah dan pilot diminta untuk ikut alam, bukan pilot yang atur alam. Cuaca di Papua harus dipahami dengan baik, sebab berbeda dengan daerah lainnya," ujar Djarot.
Alberth Matatula, salah satu jurnalis yang biasa terbang ke pedalaman Papua, membagi kisahnya. Pengalaman yang paling mendebarkan bagi dirinya saat menempuh perjalanan dari Jayapura ke Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya.
Cuaca berawan menyelimuti perjalanan selama sejam itu. Saat hendak mendarat di Mulia, petugas menara bandara setempat memberitahukan bahwa pesawat tak bisa mendarat. Sebab, celah masuk ke landasan pada bandara itu tertutup awan tebal.
Pilot yang menerbangi pesawat jenis Twin Otter berkapasitas delapan orang ini bahkan memberitahukan kepada penumpang untuk melanjutkan penerbangan ke Wamena, karena awan tebal.
"Namun, pilot mengajak penumpang untuk berputar satu kali mengitari gunung Puncak Jaya yang memiliki ketinggian 4.884 meter. Kemungkinan saja, awal tebal bisa bergeser oleh angin. Tapi, tetap saja hati saya bergetar, sebab goncangan melewati awan tebal sangat terasa, apalagi kita menumpangi pesawat berbadan kecil," jelasnya.
Tak lama mengitari pegunungan itu, tiba-tiba awan tebal terbawa oleh angin dan terbuka celah sedikit untuk bisa masuk ke Bandara Mulia. Pilot pun mengajak penumpang untuk mencoba turun ke landasan tersebut.
"Kita coba ya," kata Albert menirukan sang pilot.
Degup jantungnya makin menjadi-jadi. Apalagi kata coba yang diucapkan sang pilot, seakan hanya ada dua kemungkinan, antara bisa masuk melewati awan tebal itu atau memang ajalnya akan habis hari itu juga. Sebab, Albert berpikir pasti pesawat akan jatuh, karena jarak pandang yang minim.
"Puji Tuhan, akhirnya kami mendarat dengan mulus. Usai mendarat, hujan deras pun turun. Sangat mengerikan," tutur dia.
Walau begitu, Albert tak pernah takut untuk terus terbang di langit Papua.
"Selain pemandangannya yang tak ada duanya, terbang di langit Papua banyak tantangan yang tidak kita temukan di tempat lain," katanya.
Advertisement
Tak Butuh Pilot Jago di Papua
Obrolan para pilot di Papua hanya didominasi dua macam pilot, yakni pilot tua dan pilot jago. Tapi, tak ada pilot tua yang jago di Papua. Kiasan itulah yang selalu muncul di tengah perbincangan sejumlah pilot di Papua. Karena terbang di pedalaman Papua memang tak membutuhkan pilot jago, melainkan pilot yang mau terus belajar.
Obrolan para pilot ini mengisyaratkan bahwa semua pilot di Papua, baik pilot muda ataupun yang sudah berumur sekalipun, tidak ada yang dapat dikatakan jago atau mahir saat melintasi angkasa di Bumi Cenderawasih.
Bagaimana tidak? Semua pilot yang menjelajah langit Papua, apalagi terbang di pedalaman Bumi Cenderawasih, harus menggunakan cara-cara visual dalam menurunkan dan menerbangkan pesawatnya dari lapangan terbang yang satu ke lapangan terbang lainnya.
Kapten Pilot Daud Mongdong (61), salah satu kapten yang bekerja di maskapai penerbangan AMA dan telah memiliki sekitar 16 ribu jam penerbangan ini, tak pernah puas dengan kemampuan yang dimilikinya. Setiap hari, ia dan pilot lainnya terus mengasah kemampuannya untuk menjelajahi langit Papua.
"Setiap saat kita harus melatih diri kita sendiri dalam menjelajah langit Papua. Hampir semua lapangan terbang di Papua memiliki teknik-teknik sendiri untuk landing dan take off," katanya.
Kemudian, rata-rata pilot yang terbang di pedalaman Papua atau rute perintis harus mengetahui kondisi lapangan terbang, termasuk bagaimana kondisi angin. Jika hujan semalaman pun, berarti lapangan udara yang rata-rata rumput dan tanah ini masih basah dan jangan sekali-kali bermain dengan cuaca di Papua.
"Selama saya terbang di Papua, jangan pernah masuk awan di daerah pegunungan, jika tidak tahu lokasinya dimana," ia mengungkapkan.
Penerbangan di Papua juga harus masuk di celah gunung, kadang di bawah lembah, ikuti di celah-celah sungai. Namun, semuanya itu memiliki prosedur. Ada sekitar 400-an air stripe atau lapangan terbang yang kondisinya berumput dan batu di Papua.
Daud mengklaim masih banyak pilot yang nekat melakukan penerbangan di Papua, tanpa mengikuti latihan terlebih dahulu. Namun, semua harus kembali kepada masing-masing operator penerbangan.
"Banyak pilot di Papua yang tidak mau tahu atau malu bertanya. Harusnya dengan banyaknya penerbangan misionaris di Papua, ada AMA, MAF, Tariku, dan lainnya, kami tak keberatan jika untuk saling sharing dan berbagi pengalaman. Saya sudah lama di sini dan saya masih terus belajar," ujar dia.