Liputan6.com, Solo - Ratusan pengemudi taksi konvensional mogok lantaran menggelar demo menolak keberadaan taksi berbasis aplikasi yang sudah mulai beroperasi di Solo. Alhasil, operasional taksi lumpuh selama enam jam sejak pukul 08.00 WIB hingga 14.00 WIB.
Ratusan mobil taksi berjajar di Jalan Slamet Riyadi menuju Bundaran Gladag Solo. Mobil taksi tersebut ditinggal pengemudinya untuk bergabung bersama para sopir taksi lainnya yang menggelar demo di bawah patung Slamet Riyadi di Bundaran Gladag.
Para sopir taksi berkumpul untuk mendengarkan orasi dari masing-masing perwakilan taksi terkait tuntutan penolakan untuk menghentikan beroperasinya taksi berbasis aplikasi yang sudah merambah Solo sejak beberapa waktu lalu.
Tak hanya membawa spanduk yang bertuliskan kecaman dan tuntutan, mereka juga meneriakkan penghentian taksi online yang mengancam mata pencaharian yang ditekuninya selama ini.
Di sela-sela aksi, ratusan peserta aksi demo juga dihibur oleh aksi kesenian tradisional Reog Ponorogo yang merupakan milik perusahaan taksi Kosti Solo. Mereka ikut menari dan melompat seperti alunan tabuhan gamelan yang ditabuh pengrawit. Mereka bersorak ketika reog dan penari perempuan terlihat asyik menari.
Ketua Pengawas Taksi Kosti Solo, Tri Teguh mengatakan aksi demo penolakan angkutan pelat hitam berbasis aplikasi online diikuti sekitar 800 sopir taksi yang ada di wilayah Solo dan sekitarnya. Aksi itu membuat layanan taksi di Solo berhenti karena semua sopir taksi konvensional ikut bergabung.
"Tidak ada taksi yang beroperasi pada hari ini mulai pukul 08.00 hingga 14.00 WIB. Kalau nanti pukul 14.00 WIB aksi belum selesai, maka akan diselesaikan pada hari ini juga hingga malam," kata dia di sela aksi demo di Bundaran Gladag Solo, Selasa (11/7/2017).
Baca Juga
Advertisement
Tri juga menyampaikan pihaknya telah berkirim surat kepada Gubernur Jawa Tengah yang berisi permintaan untuk menghentikan operasional taksi online. Untuk itu, ia juga mengajak para pengemudi taksi di Semarang untuk menggelar aksi serupa.
Menurutnya, Solo dan Semarang merupakan kota besar di Jawa Tengah sehingga jika aksi tersebut dilakukan, akan mendapatkan perhatian yang lebih.
"Namun ternyata pengemudi taksi di Semarang sudah memiliki kesepakatan di zona-zona tertentu tidak boleh mengambil penumpang. Jelas ini berbeda dengan Solo karena di sini harus tutup total untuk taksi berbasis aplikasi online," katanya.
Teguh mengatakan, karena taksi online, pendapatan para sopir taksi konvensional berkurang drastis. Bahkan, para sopir juga berat menutup uang setoran.
"Selain berdampak kepada berkurangnya pendapatan para sopir taksi, keberadaan angkutan mobil pelat hitam berbasis aplikasi online juga tidak memberi kontribusi kepada pemerintah," ujarnya.
Saat ini, kata Teguh, jumlah angkutan mobil pelat hitam yang berbasis online mencapai 300 armada. "Uber taksi itu izinnya di Sukoharjo, tetapi beroperasinya di Solo. Ini jelas merugikan para sopir taksi di Solo. Kita inginnya tolak Uber dan supaya kembali seperti awal, tidak ada taksi berbasis online," kata dia.
Salah satu sopir taksi Mahkota Ratu, Timan menyampaikan hal senada. Ia menyatakan kemunculan taksi online menambah beban sopir taksi reguler. Sejak munculnya taksi online, pendapatannya susut hingga 60 persen.
"Biasanya sehari itu mendapat Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu. Untuk setoran Rp 230 ribu dan ditambah biaya BBM. Tapi kini, untuk mendapat uang setoran saja sulitnya minta ampun," keluhnya.
Untuk itu, Timan berharap supaya keberadaan taksi online dihapus di Solo. Menurut dia, keberadaan angkutan ilegal itu mengancam pendapatan para sopir taksi konvensional. "Harus dilarang di Solo," katanya.
Saksikan video menarik di bawah ini: