Liputan6.com, Ternate - Bencana longsor di Kota Ternate, Maluku Utara, jarang terjadi. Kali pertama, peristiwa menjelang subuh itu langsung menewaskan dua bocah di kawasan Tobona, Ternate Selatan. Petaka yang menimpa keluarga Ali Ibrahim, Kamis dini hari, 1 Juni 2017, itu masih menyisakan tanya, terutama penyebab tanah longsor.
Longsor atau gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis.
"Musibah di Tobona patut dijadikan warning bagi semua warga Kota Ternate, terutama mereka yang membangun rumah di daerah perbukitan," ucap Ketua Pusat Studi Gunung Api dan Bencana Geologi Maluku Utara, Dedy Arif, kepada Liputan6.com, yang ditulis pada Kamis (20/7/2017).
Advertisement
Baca Juga
Geolog Maluku Utara ini mengemukakan, pergerakan tanah Tobona harus segera diantisipasi. Apalagi, intensitas curah hujan yang tinggi serta endapan vulkanik Gunung Gamalama yang berusia kuarter sebagai batuan penyusun Kota Ternate dapat mengancam permukiman warga.
"Tidak hanya di Tobona dan sekitar Kalumata (Kecamatan Ternate Selatan), namun juga wilayah lainnya (Kecamatan Ternate Utara)," ujar Dedy.
Longsor di Tobona, menurut dia, masih berpotensi terjadi, terutama permukiman di wilayah yang sebelumnya merupakan daerah galian C (penambangan pasir dan batu).
"Ini karena tingkat stabilitas batuan penyusun maupun kelerengan sudah terubah oleh pemanfaatan material yang dilakukan sebelumnya," Dedy menambahkan.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Longsor Tobona dan Perubahan Iklim
Dedy mengatakan secara umum bencana longsor termasuk di Tobona karena adanya faktor pendorong dan pemicu. Faktor pendorong adalah yang membangkitkan kondisi material longsor sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bahan tanah bergerak.
"Bergeraknya tanah Tobona karena ada pengalihan fungsi lahan yang tidak disertai penataan ketataruangan yang sesuai dengan daya dukung secara geologi, sehingga menyebabkan tanah bergerak," kata Ketua Pusat Studi Gunung Api dan Bencana Geologi Maluku Utara tersebut.
Ia memaparkan, pola gerakan tanah yang terjadi di Tobona merupakan aliran bahan rombakan yang terjadi karena material sedimen di bagian teratas merupakan material rombakan. Material ini terdiri dari batu pasir, batu lempung, dan andesit berukuran kerikil ataupun bongkahan.
Dedy menambahkan, gerakan tanah Tobona diawali dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan perubahan iklim. Pemanasan global dan regional di Ternate, telah mendatangkan hujan lebat yang berpotensi menimbulkan tanah longsor.
"Tanah longsor merusak perumahan di lereng selatan Gamalama, akibat curah hujan tinggi yang terinfiltrasi masuk ke dalam lapisan batuan penyusun wilayah terdampak dan secara perlahan mempengaruhi stabilitas batuan yang ada," tutur dia.
"Material yang tidak kompak itu bergerak sesuai bidang gelincir yang sudah terbentuk oleh kemiringan lereng yang ada. Ini membuat material bergerak cepat ke titik rendah, yang didukung oleh material lepas yang memiliki beban lebih berat, terutama andesit berukuran boulder -bongkah- karena memiliki kerawanan yang sama," ia menjelaskan.
Advertisement
Langkah Mitigasi
Terkait ancaman longsor, Dedy menyarankan, perlu adanya langkah mitigasi yang dilakukan semua pihak. Tujuan mitigasi itu sebagai upaya mengurangi risiko bencana yang akan terjadi.
Tentunya, sambung Dedy, harus melalui beberapa langkah, salah satunya sistem peringatan dini. Early Warning ini harus dioptimalkan di wilayah terancam gerakan tanah.
"Juga perlu dilakukan kajian secara detail terhadap lokasi yang terindikasi berpotensi ada gerakan tanah," ujarnya.
Lantaran itulah, Dedy meminta agar warga dan Pemerintah Kota Ternate memperhatikan pengembangan permukiman di daerah tatanan geologi yang rawan terhadap bahaya gerakan tanah. Terutama tidak melakukan perubahan atau alih fungsi lahan sebagai wilayah pengaman atau penahan laju erosi dan gerakan tanah.
"Juga yang harus diperhatikan adalah melakukan penanaman pohon di wilayah punggungan dengan mengikuti pola kontur yang ada," kata dia.
Pemerintah khususnya instansi terkait, imbuh Dedy, harus membuat drainase agar tidak memotong lereng dan mengikuti pola kontur.
"Perlu juga pembuatan terasering pada lahan yang miring dan selalu waspada terhadap gejala atau tanda-tanda terjadinya longsor. Termasuk melakukan pemasangan rambu bahaya gerakan tanah berdasarkan kajian teknis yang sudah dilakukan," ucap geolog Maluku Utara tersebut.
"Ini sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar melakukan pembangunan agar terhindar dari bencana," tutur Dedy.
Hujan Lebat Masih Terjadi
Seiring adanya ancaman longsor, berdasarkan peringatan dini cuaca, Kota Ternate dan wilayah sekitarnya berpotensi diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai petir. Kondisi cuaca ini diprediksi pula masih akan terjadi merata di Kota Ternate dan sekitarnya.
Prakirawan BMKG setempat menginformasikan, hujan dengan intensitas tinggi disertai angin kencang dan petir akan terjadi pada 21-23 Juli 2017. Meliputi di antaranya Kota Ternate, Halmahera Barat, Kota Tidore Kepulauan, dan Halmahera Timur.
Koordinator BMKG Maluku Utara Sulimin pun mengimbau, masyarakat agar waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang dapat ditimbulkan, seperti banjir, tanah longsor, genangan, pohon tumbang, dan jalan licin.
Sulimin memperkirakan kondisi cuaca dengan curah hujan lebat akan terjadi dalam periode beberapa hari ke depan.
Advertisement