Liputan6.com, Garut - Setelah Haiti di belahan Amerika Tengah, Indonesia adalah penghasil minyak akar wangi (Chrysopogon zizanioides) terbesar dunia saat ini. Sementara, Kabupaten Garut, Jawa Barat, adalah penghasil minyak akar wangi di Tanah Air. Tak mengherankan, bila keberadaan minyak akar wangi Garut masih memainkan peran penting dalam penentuan harga komoditas tersebut.
Ede Kadarusman selaku Ketua Asosiasi Atsiri Indonesia mengatakan, keberadaan minyak akar wangi Garut sudah lama dikenal pasar minyak akar wangi dunia. Saat ini, Garut sebagai satu-satunya penghasil minyak akar wangi di Indonesia. Sebab, bahan dasar untuk parfum dan kecantikan itu memang sulit tumbuh di daerah lain.
"Kejayaan minyak akar wangi Garut dimulai sejak tahun 1970-an. Saat itu, produksi mencapai 60 ton per tahun. Kemudian lanjut tahun 1985 hingga 2004 dengan produksi hingga 75 ton sampai 100 ton per tahun," ucap Ede saat ditemui Liputan6.com, Kamis, 20 Juli 2017.
Namun, menurut Ede, produksi akar minyak wangi Garut mulai turun sejak tahun tersebut. "Karena bahan bakar minyak tanah yang terus naik, akhirnya produksi drop," kata dia,
Baca Juga
Ede menjelaskan, saat ini, produsen terbesar minyak akar wangi dunia masih dipegang Haiti, negara kawasan Karibia itu masih memproduksi minyak hingga 60 ton per tahun. Posisi kedua baru diikuti Indonesia, sedangkan kebutuhan minyak akar wangi dunia mencapai 250-300 ton per tahun.
"Sebenarnya produksi Haiti sudah menurun, awalnya bisa 100 ton per tahun," tutur dia.
Namun, slot penurunan itu justru belum bisa diambil oleh Indonesia. Menurut Ede, saat ini, produksi minyak akar wangi Garut hanya berkisar 20 ton per tahun. Menyusutnya lahan dan rendahnya harga beli akar diduga menjadi awal penurunan produksi minyak. "Memang butuh waktu untuk mengembalikan kejayaannya," ujarnya.
Advertisement
Saksikan video menarik di bawah ini:
Produksi Menurun
Ede mengatakan pula, penurunan produksi minyak akar wangi Garut dimulai pada 2004. Saat itu, subsidi minyak tanah dicabut pemerintah, hingga akhirnya pengusaha penyulingan minyak akar wangi "menjerit". Tak pelak, dampaknya harga beli akar dari petani menjadi murah.
"Mau bagaimana lagi? Ya, kita tekan harga akar dari petani," katanya.
Dengan kondisi itu, akhirnya banyak petani marah dan enggan menanam lagi tanaman akar wangi dan beralih menanam sayuran dengan masa tanam lebih singkat dan harga lebih menarik.
"Sampai petani membakar akarnya karena harganya yang tidak kompetitif lagi hanya Rp 2.000 per kilogram, tapi sekarang rata-rata Rp 10 ribu per kilogram mulai menarik lagi," kata anggota dewan atsiri Indonesia itu.
Bahkan masalah petani produksi semakin bertambah dengan penurunan harga beli minyak akar wangi dunia akibat penurunan kualitas minyak yang dihasilkan. "Kalau minyaknya jelek ya harganya jelas turun, tahun 2004 itu harganya hanya Rp 250 ribu per kilo, kemudian 2005 naik Rp 600 ribu," ujarnya.
Namun dengan semakin tingginya kebutuhan, perlahan secara pasti harga minyak akar wangi dunia mulai pulih, saat ini harga jual minyak akar wangi Garut sudah mencapai Rp 4,5 juta per kilo. "Mungkin sekitar tahun 2010 lalu harga terus naik," ujarnya.
Beberapa negara yang selama ini mendapatkan pasokan minyak akar wangi dari Garut seperti Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Singapura, Swiss, India, dan Sri Lanka mulai kembali melirik hasil penyulingan tanaman asli kota dodol itu. "Mereka yang minta bukan kami yang cari," ujarnya.
Advertisement
Keunggulan Produksi
Ede mengatakan, salah satu keunggulan minyak akar wangi Garut terletak pada kejernihan minyaknya, tak pelak nilai tawar minyak akar wangi Garut pun terus naik. "Kalau sebelumnya mereka yang patok harga, kini kami bisa ikut negosiasi harga," ujarnya.
Ia menambahkan, awalnya lahan akar wangi mencapai 2.400 hektare yang tersebar di Kecamatan Samarang, Bayongbong, Leles, Cilawu, dan Kecamatan Pasirwangi.
Namun, kini hanya 800 sampai 1.000 hektare lahan tertanam dan hanya tersebar di Kecamatan Bayongbong, Cilawu, dan Kecamatan Samarang. "Namun saya yakin seiring membaiknya harga minyak, petani mulai melirik lagi," tutur dia.
Amas, salah satu pegawai broiler penyulingan minyak akar wangi milik Ajang di Kampung Cidadari, Desa Suka Karya, Kecamatan Samarang, Garut, mengakui pasokan akar wangi untuk mendapatkan minyak yang berkualitas terus berkurang.
Sementara, bahan bakarnya terpaksa menggunakan oli bekas akibat mahalnya harga minyak tanah. "Hari ini saja baru tiga hari mulai lagi, sebelumnya hampir seminggu libur sebab pasokan akarnya tidak ada," ujarnya.
Sebagian Petani Beralih
Amas menyatakan, lamanya masa tanam serta harga akar yang masih dikuasai tengkulak, menyebabkan banyak petani beralih tanam ke sektor sayuran holtikultura. Misalnya, cabai, tomat, kentang, dan lainnya yang lebih singkat dengan harga lebih kompetitif.
"Sekarang harga akar sekilo Rp 10 ribu, tapi tanamnya satu tahun. Kalau sayuran hanya 40 hari atau dua bulan sudah panen jadi lebih menguntungkan," ujarnya.
Akibatnya, luasan lahan tanaman akar wangi terus menyusut, sedangkan lahan pertanian holtikultura dengan masa tanam yang lebih singkat terus meluas. "Di sekitar sini banyak broiler tutup tidak kepakai karena bahan baku kurang," sebut Anas.
Ia mengakui, harga minyak akar wangi saat ini tengah naik daun. Namun, terus merosotnya pasokan akar menyebabkan bahan baku sulit diperoleh. "Paling sekarang satu brolier hanya 1 ton, itu pun barangnya sulit diperoleh," kata dia.
Buat menghidupkan asa petani dan pengusaha minyak akar wangi yang tengah ceria, ia berharap petani mulai menanam lagi akar wangi untuk menutupi tingginya kebutuhan minyak saat ini. "Kalau harga minyaknya bakal terus naik, sebab pasokannya kan hanya dari Garut," Anas memungkasi.