Sukses

Dilarang Marah Saat Belimbur, Festival Songkran ala Kutai Erau

Serupa dengan festival Songkran di Thailand, saat Belimbur, warga Kutai saling menyemprotkan air kepada siapapun yang lewat.

Liputan6.com, Tenggarong - Penutupan Festival Adat Kutai Erau atau Erau International Folk Arts Festival (EIFAF) menjadi ajang yang ditunggu-tunggu masyarakat Tenggarong, Kalimantan Timur, dan juga wisatawan lokal serta mancanegara.

Sejak Minggu pagi, 30 Juli 2017, masyarakat berduyun-duyung mendatangi Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, yang kini menjadi Museum Mulawarman. Ribuan pengunjung menunggu setia di halaman keraton.

Apa yang ditunggu-tunggu masyarakat tersebut adalah upacara adat Belimbur. Belimbur adalah ritual penyucian diri setelah pelaksanaan Erau.

"Belimbur mempunyai makna membersihkan diri kita. Selama pelaksanaan Erau, berbagai macam tabiat dan perbuatan yang kita lakukan tanpa menyadari, maka dengan Belimbur akan kembali bersih," ujar Menteri Pelestarian Nilai Budaya Adat Kesultanan Kutai Kartanegara, Haji Aji Pangeran Aryo Kusumo Puger, dilansir Antara.

Belimbur menandai penutupan Festival Adat Kutai Erau atau Erau International Folk Arts Festival (EIFAF) 2017 yang diselenggarakan dari 22 Juli hingga 30 Juli 2017.

Jika dulunya Erau diadakan pada acara besar kesultanan seperti penobatan raja atau pengangkatan putra mahkota, saat ini Erau dilangsungkan setiap tahun sebagai festival budaya. Festival Erau menjadi festival yang ditunggu masyarakat.

Semua bersuka cita dalam Belimbur. Saling serang dengan menyiramkan air. Di halaman Museum Mulawarman, penyiraman dibantu tiga mobil pemadam kebakaran. Dua mobil pemadam kebakaran di dalam lingkungan museum, sedangkan satu mobil lainnya di luar istana persis di tepian Sungai Mahakam.

Belimbur tak hanya berlangsung di sekitar Museum Mulawarman tetapi juga terjadi di setiap sudut kota. Di depan rumah, masyarakat sudah bersiap dengan perlengkapan tempurnya, seperangkat selang yang dialiri air dan ember untuk menyiram pengendara dan pejalan kaki yang lewat.

Di jalan-jalan kota yang berjuluk kota raja tersebut, para muda-mudi saling melemparkan air yang dibungkus di plastik.

Tua dan muda bersuka cita dalam kegiatan penyucian diri tersebut. Semuanya basah, semuanya bergembira ria. Ada satu syarat dalam kegiatan adat ini, yakni masyarakat yang disiram tidak diperkenankan untuk marah.

Sejak sebelum berlangsungnya acara Belimbur, pihak Kesultanan Kutai Kartanegara menjelaskan bahwa pengunjung yang berada di daerah itu wajib basah. Jika tidak ingin basah maka harus menjauh dari lokasi acara itu.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara, Sri Wahyuni, menjelaskan Belimbur harus mengikuti adat, menggunakan air yang bersih dengan tata tertib tidak melukai, dan mempunyai niat yang baik.

"Dengan niat yang baik pula, maka tujuan dari Belimbur untuk penyucian diri tercapai," kata Sri.

Penggunaan air bersih sangat ditekankan sejak awal oleh pihak kesultanan. Pasalnya, banyak juga masyarakat yang menggunakan air selokan untuk menyiram. Tak jarang keributan terjadi dan tentunya merusak makna Belimbur tersebut.

Saksikan video menarik di bawah ini:




2 dari 2 halaman

Larungkan Sepasang Naga

Belimbur juga harus dengan niat yang baik dan tak jarang apa yang diinginkan itu terkabulkan. Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari menceritakan pada 2011, dirinya ingin agar kabupaten tersebut mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Berkat niat baik dan kerja keras, hal itu tercapai. Kini, Kutai Kartanegara mendapatkan opini WTP selama lima tahun berturut-turut.

Mengulur naga tradisi Belimbur, tak bisa dilepaskan dari Mengulur Naga, yakni tradisi melarungkan replika naga jantan dan betina sepanjang 16 meter ke Kutai Lama yang berada di Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara.

Konon menurut riwayat, naga tersebut awalnya ulat yang ditemukan sepasang suami-istri,Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma, saat membelah kayu kasau. Ulat kecil itu kemudian dipelihara dengan baik bak anaknya sendiri. Pasangan suami istri berusia lanjut tersebut memang sangat menginginkan kehadiran anak.

Hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun, ulat itu membesar menjadi naga yang menakutkan masyarakat. Tak ingin menakutkan, naga tersebut kemudian meminta untuk dibuatkan tangga untuk merayap menuju Sungai Mahakam.

Naga tersebut menyelam, timbullah angin topan, air begelombang, hujan, guntur, dan petir bersahutan. Tak lama, permukaan sungai dipenuhi gelembung buih.

Setelah didekati, di gelembung buih itu terdapat bayi perempuan yang berbaring di dalam gong. Gong semakin meninggi dan nampaklah naga menjunjung gong berisi bayi tersebut.

Semakin lama, naga yang menjunjung bayi itu semakin tinggi dan nampaklah binatang aneh yang disebut Lembu Suwana menjunjung naga dan gong. Lembu Suwana dan Naga itu kemudian masuk ke dalam air dan tinggallah gong yang berisi bayi itu.

Menurut hikayat, anak itu di kemudian hari dikenal dengan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu yang merupakan ibu dari sultan-sultan Kutai Kartanegara.

Oleh karena itu, pada perayaan Erau selalu dilakukan acara Mengulur Naga. Sesampai di Kutai Lama yang merupakan tempat asal naga, badan naga dilarung sedangkan kepala dan ekornya dibawa ke istana.

"Sedangkan, kainnya yang menjadi pembungkus badan naga dibagikan ke masyarakat. Masyarakat di Kutai Lama berebut mengambil kain tersebut karena dipercaya sebagai pembawa keberuntungan," kata Sri Wahyuni.

Belimbur baru dimulai setelah Air Tuli tiba. Air Tuli merupakan air yang berasal dari tempat suci di Kutai Lama. Air Tuli diambil, kalau sekarang dengan kapal cepat, setelah itu diserahkan ke Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Haji Aji Muhammad Salehuddin II, di rangga tinggi. Rangga titi sendiri yakni balai yang terbuat dari bambu kuning.

Sultan memercikkan Air Tuli ke dirinya sendiri dengan mayang pinang lalu setelah itu, dipercikkan ke orang-orang di sekelilingnya. Saat Sultan memercikkan air ke orang di sekitarnya itulah yang menjadi tanda "Belimbur" dimulai.