Sukses

Polemik Baru Tak Berlakunya Nama Baru Sultan HB X

Penggunaan nama ganda Sultan HB X sama-sama menimbulkan konsekuensi. Di satu sisi soal hak menjadi Gubernur DIY, di sisi lain soal suksesi.

Liputan6.com, Yogyakarta - Meski antara pihak Keraton Yogyakarta dan DPRD DIY sepakat untuk tak menggunakan nama baru Sultan HB X, baik urusan internal maupun eksternal keraton, hal itu masih menyisakan masalah.

Pasalnya, perubahan nama dan gelar Sultan HB X berlaku sejak Sabda Raja pada 30 April 2015. Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias menerangkan pengubahan nama itu secara jelas berimbas pada legal administratif menjadi Gubernur DIY.

Menurut Bayu, baik nama Buwono ataupun Bawono melahirkan persoalan baru. Hal itu karena kedua nama menyangkut legitimasi dan proses politik Sultan untuk mempertahankan posisi gubernur di satu sisi dan menyiapkan GKR Mangkubumi sebagai sultan berikutnya di sisi lainnya.

"Walaupun individunya tetap sama, perubahan tersebut dapat berakibat terjadinya persoalan legal administratif yang berdampak hilangnya hak prerogratif Sultan sebagai Gubernur DIY yang tak dibatasi masa jabatan. Setelah muncul kebingungan di publik, Sultan menegaskan gelar baru untuk internal," ujarnya seperti dikutip Senin (31/7/2017).

Bayu menjelaskan dalam struktur administrasi Keraton Kasultanan Yogyakarta adalah institusi yang lengkap struktur administrasinya. Bahkan, pencatatannya sangat detail dan rinci sejak keraton ini berdiri.

Tetapi, Sabda dan Dawuh Raja tidak termasuk dalam administrasi keraton, sehingga baru diadopsi dalam keputusan keraton dengan nama Bawono. Nama itu pun digunakan keraton setelah Sabda Raja.

Sementara itu, salah satu syarat untuk mengajukan diri untuk ditetapkan menjadi Gubernur DIY 2017-2022 adalah surat pencalonan dari Panitrapura (Semacam Sekretaris Negara yang mengurusi administrasi) sesuai dengan Pasal 19 UUK.

Dalam surat-surat lainnya yang dikeluarkan oleh Panitrapura menggunakan nama Bawono, surat pencalonan khusus untuk kepentingan Gubernur DIY menggunakan Buwono.

"Ini melanggar kaidah administrasi karena melegalisir gelar 1989 yang sudah diamandemen tahun 2015. Pendeknya, administrasi Kraton menjadi tidak konsisten karena tidak ada kaidah yang disepakati," ujarnya.

Ia mengingatkan ketika UUK disahkan, keraton dinilai sudah menyerahkan urusan internalnya kepada NKRI dan tidak ada lagi pemilahan internal dan eksternal. Bahkan, Sultan tidak lagi bebas untuk mengubah gelarnya sendiri karena rambu-rambu regulasi yang demikian ketat.

Ia juga mempertanyakan konsistensi internal keraton soal penggunaan nama baru Sultan HB X yang disebut hanya untuk kalangan internal karena media sosial resmi yang dikelola keraton justru menggunakan nama baru.

"Pagi hari berangkat dari keraton sebagai Bawono, dan setelah sampai di Kepatihan menjadi Buwono, lalu malam hari kembali lagi ke keraton menjadi Bawono. Terus menerus setiap hari sejak 2015," ujarnya.

Saksikan video menarik di bawah ini: