Sukses

Komentar Aktivis Ganja untuk Obat terhadap Vonis Fidelis

Tanaman ganja untuk pengobatan hingga kini belum dilegalkan di Indonesia.

Liputan6.com, Sanggau - Fidelis Arie Sudewarto, pria asal Sanggau, Kalimantan Barat (Kalbar), yang mengklaim menanam ganja untuk pengobatan istri, Yeni Riawati, pengidap penyakit langka Syringomyelia, akhirnya menerima vonis pidana penjara.

Ketua majelis hakim Achmad Irfir Rochman didampingi dua hakim lainnya, Jhon Malvino Noa Wea dan Maulana Abdillah, menjatuhkan vonis delapan bulan penjara dan denda Rp 1 miliar bagi Fidelis Arie Sudewarto.

Fidelis diganjar hukuman pidana delapan bulan penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus kepemilikan 39 batang tanaman ganja. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Sanggau, Kalbar, Rabu (2/8/2017), majelis hakim juga mengganjar Fidelis dengan denda Rp 1 miliar subsider satu bulan penjara. Vonis ini lebih berat dari tuntutan JPU yang menuntut Fidelis dihukum lima bulan penjara.

Vonis terhadap Fidelis tersebut ditanggapi Divisi Hukum Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Singgih Tomi Gumilang. Ia mengaku, datang ke sana untuk memberitakan kepada khalayak luas bahwa dari sisi keadilan setidaknya ditegakkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau.

Menurut dia, apa pun putusan tersebut patut diapresiasi, terutama kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau yang sudah memberikan tuntutan hukum lebih rendah ketimbang tertera di undang-undang yang ancamannya lima tahun.

"Tapi, (tuntutan) Kejaksaan Sanggau hanya lima bulan. Jadi, dia (jaksa) memutus dari apa yang dipinta majelis JPU (jaksa penuntut umum)," ucap Divisi Hukum Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Singgih Tomi Gumilang, seusai sidang pembacaan vonis di PN Sanggau, Kalbar.

Singgih menjelaskan, ada satu hal perlu diingat, yakni perbuatan Fadelis murni untuk mengobati istrinya. Dia menilai, terbukti tidak ada penyalahgunaan aturan dan Fidelis Arie Sudewarto tidak menjalin hubungan dengan sindikat pasar gelap ganja.

"Terbukti dia adalah ayah dari dua anaknya dan terbukti dia adalah pegawai negeri," sebut dia.

Saksikan video menarik di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Fidelis Belajar dari Internet

Singgih memaparkan, Fidelis memilih pengobatan istrinya setelah melalui berbagai proses yang ditempuh, termasuk pengobatan dari dokter yang ternyata tidak berhasil dan pengobatan secara alternatif yang disebutkan oleh majelis hakim, ternyata kurang menempuh hal yang positif juga.

"Setelah membaca literatur di internet, (Fidelis) ketemu medical medis ini. Ternyata, setelah baca literaturnya, kok cocok dengan penyakit yang dialami oleh istrinya," kata Singgih.

Tanaman ganja itu, imbuh dia, akar sampai ujung bunga tidak ada yang terbuang. Singgih menyebut, ganja bisa dijadikan ekstrak untuk mengobati berbagai macam penyakit. Sedangkan bijinya bisa dikupas, kalau kulitnya bisa digunakan sebagai serat yang baik untuk kesehatan. Bijinya dalamnya merupakan protein yang ternyata khasiatnya setara dengan air susu ibu.

"Itu fakta yang kita temukan ketika studi literatur. Kalau lebih jelasnya silakan ke website, tapi lebih jelasnya kita akan ngomong mas Fidelis sebagai pengetuk hati masyarakat umum yang ternyata ganja ada manfaatnya untuk medis," tutur Singgih.

Ia menjelaskan pula, Fidelis memberanikan diri setelah membaca literatur dari internet, sehingga berani mencoba. Fidelis kemudian melakukan pengobatan kepada istrinya.

"Kalau dia beli di pasar gelap, otomatis ganja yang dia dapatkan tidak sehat. Kalau dia untuk mengobati bagusnya ditanam. Kalau di pasar gelap itu sudah mengalami perkembangan kimia entah itu disemprot pupuk biar tak diserang hama atau tidak diurus," kata Singgih.

Berbeda yang dilakukan oleh Fidelis, sehingga ganja yang didapatnya murni sehat tanpa kimia. "Kami terketuk, karena upayanya sama dan mas Fidelis merupakan ikon ganda medis bagi kita kalau boleh berkenan," ucap dia.

Singgih pun mengklaim bahwa riset awal yang digelar pihaknya sudah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). "Nah, kendalanya sekarang kenapa belum jalan? Karena pada saat ini ada pihak yang belum satu suara, padahal waktu itu kita lakukan sama Kemenkes sama pihak Polri sama BNN (Badan Narkotika Nasional)," ia menambahkan.

Ia mengatakan pula bahwa riset tersebut memerlukan ganja yang merupakan barang bukti dari BNN. Sebab, bila BNN belum sepakat kepada riset, mana mungkin bakal dikasih barang buktinya.

"Makanya, kita pergi ke Tawangmangu (Karanganyar, Jawa Tengah), karena di sana ada Balai Penelitian Obat dan Makanan. Di sana, ada pohon ganja di taman, tapi 'dipenjara'. Dilingkari pakai terali besi karena di sana fungsinya bukan untuk riset, tapi untuk mengamankan barang bukti," ujarnya.

Singgih pun mengakui bahwa membahas ganja untuk pengobatan pasti ada dua sudut pandang, yakni pihak yang setuju karena telah membaca literatur dan kubu yang menolak.

3 dari 3 halaman

Sikap BNN dan Menkes

Terkait kasus kepemilikan puluhan batang tanaman ganja yang menjerat Fidelis Arie Sudewarto, BNN telah menyatakan bahwa menindak tegas Fidelis agar perkara seperti ini tidak dijadikan alasan bagi siapa pun untuk memiliki atau menanam segala jenis narkotika.

"Kenyataannya kan tindakan dia (Fidelis) tidak didukung dengan alasan medis yang kuat seperti pengawasan dokter atau ahli opname itu bisa dijadikan acuan," ujar Kepala Humas BNN Sulistiandriatmoko, seperti dilansir Liputan 6 Siang SCTV, Kamis, 6 April 2017.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek turut berkomentar mengenai kisah Fidelis Arie Sudarwarto yang ditangkap BNN dan viral di media sosial. Fidelis menanam ganja untuk kesembuhan istrinya, Yeni Riawati yang mengidap penyakit Syringomyelia atau munculnya kista di sumsum tulang belakang.

Nila mengatakan, ada narkotika yang biasa dipakai untuk menghilangkan rasa sakit, yaitu morfin. Tapi, penggunaan morfin harus melalui mekanisme yang ketat. Dalam dunia kesehatan, morfin memang digunakan, tapi semua harus tercatat siapa yang memesan dan untuk apa digunakan.

"Jadi artinya, saya enggak bisa berlebihan membeli dengan seenaknya, berarti itu tidak benar. Tapi itu morfin ya," ujar Nila di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 3 April 2017.

Sementara, untuk ganja, dia mengaku harus melihat lebih jauh lagi kasus ini. Bisa saja, penggunaan ganja hanya untuk menimbulkan efek fly, sehingga bukan sesungguhnya mengobati.

"Jadi artinya lupa akan rasa sakit dan sebagainya. Jadi bukan mengobati tapi mengurangi sistem," ujar Nila.

Dia mengatakan, Kementerian Kesehatan memang belum mengkaji lebih dalam manfaat lain dari ganja terutama di bidang kesehatan. Tapi, secara undang-undang ganja tetap dilarang.

"Dan saya bilang tidak. Batasannya menghilangkan rasa sakit," kata Nila.