Liputan6.com, Klaten Seperti kata pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Usaha kecil yang terus-menerus akhirnya memberikan hasil. Pepatah itu pantas untuk disematkan pada seorang penarik becak, Ngadiman Yinto Seminto yang berusia 69 tahun.
Kakek yang akrab disapa dengan Mbah Pairo itu dalam rentang waktu hampir setengah abad selalu meluangkan sedikit uangnya untuk ditabung. Uang itu berasal dari mata pencahariannya sebagai penarik becak yang telah digelutinya sejak tahun 1967.
"Uang dari narik becak saya kasihkan semua ke istri. Biar istri saya yang bagi-bagi untuk biaya sekolah, untuk makan, untuk kegiatan sosial, dan untuk menabung. Istri juga yang membagi uang itu misal ada tonjokan (kenduri) kan kalau orang Jawa artinya harus nyumbang," kata Mbah Pairo ketika ditemui di Pasar Cawas, Klaten, Rabu, 2 Agustus 2017.
Advertisement
Baca Juga
Jerih payah dan kerja kerasnya menarik becak berhasil menyekolahkan anaknya ke jenjang SMA. Bahkan, dua di antaranya berhasil lulus kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lebih mengharukan lagi, jerih payahnya menarik becak itu berhasil membawanya memenuhi panggilan Allah untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Mbah Pairo bersama istrinya, Laminem, tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 33 bakal berangkat ke Tanah Suci pada 6 Agustus mendatang.
"Sampun kersane Allah (bisa berangkat haji). Modal saya itu cuma niat untuk bisa naik haji, karena itu panggilan Allah," ujar lelaki tua yang ramah dan murah senyum ini.
Mbah Pairo menarik becak sejak tahun 1967. Pria kelahiran Klaten, 9 September 1948, memulai menarik becak di Semarang. Di Kota Lumpia itu ia menarik becak selama 12 tahun. Mbah Pairo kemudian memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta, demi mencari rezeki sebagai penarik becak.
"Di Yogyakarta itu saya pernah mengalami nyowo balen (nyawa kedua). Saya ditabrak mobil di Mangkubumi saat mau mencari penumpang di Stasiun Tugu. Saya dibawa ke RS Bethesda dan dirawat sembilan hari di sana. Kata orang yang melihat kejadian itu jika tabrakan itu begitu parah dan seharusnya korbannya meninggal," Mbah Pairo mengenang.
Beberapa tahun berselang, ia memutuskan untuk pulang ke Klaten. Saban hari mangkal di depan Pasar Cawas, yang terletak sekitar lima kilometer dari rumahnya di Talang, RT 02/004, Cawas, Klaten.
"Berangkat pukul 07.30 WIB, pulang pukul 14.00 WIB. Sehari-hari saya narik becak, sedangkan istri menjadi buruh tani," kata dia.
Pada tahun 2010, ia nekat mendaftarkan haji lantaran niatnya yang cukup besar sejak puluhan tahun silam untuk bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Dengan modal tabungan Rp 13.500.000, ia nekat mendaftarkan haji. Uang itu merupakan hasil tabungan dari menarik becak sejak tahun 1973 hingga tahun 2010.
Beberapa bulan lalu, Mbah Pairo dan Laminem dinyatakan bisa berangkat naik haji tahun 2017. Guna melunasi uang kekurangannya, Mbah Pairo mengambil uang tabungan yang setiap hari disetorkan di sebuah BMT di Cawas.
"Katanya masih kurang, lalu saya bawa uang Rp 25 juta. Tapi setelah dicek uang Rp 25 juta kelebihan. Cuma kurang Rp 23 juta, jadinya alhamdulillah sisa Rp 2 juta bisa untuk uang saku nanti di Tanah Suci," tutur Mbah Pairo yang memiliki enam cucu ini.
Mbah Pairo tidak menyangka bahwa bisa beribadah haji. Terlebih dengan kondisi ekonominya yang serba terbatas. Tak sedikit yang menyangsikan Mbah Pairo bisa menuaikan ibadah haji di Tanah Suci. "Tapi, saya ya enggak marah. Malah saya bersyukur," katanya.
Segala persiapan sudah dilakukan Mbah Pairo dan istri, termasuk manasik haji. Mengharukannya, Mbah Pairo ini berangkat manasik haji menggunakan becak. "Saya itu mulai daftar, terus ikut manasik haji, ya pakai becak ini," Mbah Pairo mengungkapkan.
Mendekati tanggal keberangkatan haji, Mbah Pairo menyiapkan fisik. Selain itu juga bekal yang dibawa untuk santap makan di Arab Saudi nanti. "Bawa abon, mi instan, dan teh celup. Minta doanya saja semoga lancar semua," tutur sang penarik becak tersebut.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Â