Sukses

Guru Madrasah Bergaji Rp 50 Ribu Tolak Sekolah 5 Hari

Madrasah buat mayoritas para pengajar bukanlah menjadi pegangan utama untuk mendapatkan penghasilan.

Liputan6.com, Banyumas – Ribuan warga Nahdlatul Ulama yang jamak disebut kaum Nahdliyin tumplek blek di alun-alun Purwokerto, Senin pagi, 7 Agustus 2017. Mereka menuntut agar Mendikbud Muhadjir Effendi menganulir Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 yang mengatur soal sekolah lima hari .

Kebijakan lima hari sekolah dinilai bakal mengancam eksistensi Pondok Pesantren, Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) yang jumlahnya di Banyumas mencapai 200 buah, serta 300-an lebih Madrasah Diniyah (Maddin).

Di antara ribuan orang itu, terselip ratusan guru Maddin yang tersebar mulai Kecamatan Tambak di Ujung Timur hingga Kecamatan Lumbir di Ujung Barat. Mereka turut khawatir, madrasah bakal runtuh akibat kebijakan itu.

Salah satunya Qursyin Soleh. Seorang Kepala Madrasah Diniyah Miftahul Huda yang berlokasi di Desa Cingebul, Kecamatan Lumbir. Soleh telah mengabdi di madrasah itu lebih dari 30 tahun.

Madrasah tersebut, sesuai dengan surat dari Kementerian Agama, berdiri pada 1959. Jauh sebelum itu, sejak awal kemerdekaan, Maddin ini sudah menggelar kegiatan belajar mengajar.

"Persisnya saya lupa, tapi sejak tahun awal 1990 saya sudah mengajar di sini," tutur Soleh, Senin, 7 Agustus 2017.

Soleh mengatakan, tak rela jika Maddin tempatnya mengabdi terancam. Ia mengaku hal itu bukan semata takut kehilangan pekerjaan.

"Bukan itu. Saya hanya tidak rela madrasah yang sudah berjalan sekian lama dan melakukan syiar agama, tiba-tiba harus terancam gara-gara peraturan menteri," ucapnya.

Soleh menegaskan, Madrasah Diniyah bukan menjadi sumber utama penghidupannya. Bahkan, sama sekali tak menjanjikan karena ia mengaku hanya dibayar Rp 50 ribu per bulan. Begitu pula dengan empat guru lainnya, tanpa memandang masa pengabdian dan jabatan.

Di pagi hari, Soleh bertani dan mencari rumput untuk ternaknya. Sementara, siang, sore hingga malam hari dihabiskannya untuk mengajar di madrasah dan mengaji di musala dan rumahnya.

"Iya benar, hanya Rp50 ribu per bulan. Paling setahun sekali ada girik untuk wali santri untuk mengumpulkan gabah," kata Roikhatul Jannah, seorang ustazah di Maddin Miftahul Huda.

Girik, kata Jannah, adalah kertas serupa kupon yang berisi nama santri dan orangtua, serta kewajibannya memberikan jariyah. Besarannya bervariasi, antara 15 kilogram gabah hingga 30 kilogram gabah per tahun.

"Kami juga mempertimbangkan kemampuan orangtua santri. Kalau yang terhitung kaya, maka akan dijatah maksimal. Tapi, kalau kami memandang kurang mampu, maka minimal saja. Anak yatim, kami bebaskan," ujar Jannah.

Jannah menegaskan, penolakannya terhadap Full Day School (FDS) bukan disebabkan materi. Namun, lebih dari itu. Madrasah adalah jiwa raganya sebagai Nahdliyin. Tanpa Maddin, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan anak-anak itu untuk mendapat asupan pelajaran agama.

Menurut Jannah, operasional Maddin, mulai belajar mengajar hingga perbaikan gedung dan penambahan fasilitas dilakukan secara swadaya oleh wali santri dan masyarakat sekitar Maddin. "Maddin ini milik semua masyarakat. Mereka yang memiliki madrasah ini," tuturnya.

Ia juga menegaskan, tak ada bantuan dari Pemerintah Daerah (Pemda) Banyumas untuk operasional Maddin. Bantuan hanya didapat dari Pemerintah Desa, dengan besaran terbatas, tiap tahun.

Sementara, Presiden Komunitas Nahdiyin Banyumas (KNB), Agus Maryono mengatakan, ribuan keluarga besar NU Banyumas tumpah ruah di alun-alun Purwokerto untuk membela harkat martabat NU.

Protes ribuan warga NU semata-mata untuk menjaga pendidikan, lembaga pendidikan milik NU yang tumbuh subur di Indonesia. Lembaga NU saat ini ditegaskan Agus tengah diusik oleh kebijakan tersebut.

"Telah banyak protes, akan tetapi tidak pernah didengarkan. Maka, kami turun ke jalan. Warga NU Banyumas dengan tegas menolak, meminta Presiden Jokowi untuk menegur menteri. Jika menteri tetap tak mendengar, kami minta Menteri Muhadjir Effendi dicopot," kata Agus.

Agus menambahkan, madrasah, pesantren dan TPQ bukan hanya sekadar sekolah agama sore. Tiga institusi itu telah menjadi bagian dari kultur dan identitas NU. Ketiadaan tiga lembaga pendidikan itu, tentu akan mengguncang NU, baik secara kultural maupun organisasi.

"Kenapa kami membela madrasah dan pesantren, karena kami lahir dan dibesarkan di situ. Madrasah, TPQ, dan pesantren adalah urat nadi NU," kata Agus.

Saksikan video menarik di bawah ini: