Liputan6.com, Cilacap - Pulau Nusakambangan, selain dikenal sebagai penjara yang ketat juga dijuluki Pulau Kematian. Musababnya, ratusan orang bahkan ribuan narapidana mati secara tak wajar. Kebanyakan dari mereka dieksekusi dan terjangkit wabah malaria, seperti yang diriwayatkan pada masa kolonial Belanda. Tak aneh jika banyak cerita mistis bertebaran.
Pagi sekitar pukul 08.45 WIB, Kapal Pangayoman buang sauh dari Dermaga Wijayapura, Cilacap, menyeberang Selat Nusakambangan. Beberapa kapal tanker tampak angkuh membuang jangkar di Dermaga Pertamina utara Dermaga Sleko.
Mesin Kapal Pengayoman IV menderu-deru, melaju diikuti kecipak air yang tak biasanya berarus tenang, Sabtu 5 Agustus 2017. Sektar 400 meter dari lintasan kapal, tongkang pabrik semen bersandar menampung ribuan ton kapur dari bukit-bukit karst Nusakambangan.
Advertisement
Tak lama kemudian, Dermaga Sodong tampak dari kejauhan. Samar-samar, terlihat plang berwarna merah dengan huruf berwarna kuning pudar ‘Pemasyarakatan Nusakambangan’. Plang yang konon membuat nyali langsung ciut.
Baca Juga
Begitu turun dari kapal, kami bertujuh diajak rombongan kepala kanwil yang akan melakukan kunjungan atau sidak dalam bahasa kekinian, ke tujuh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan. Kami bertujuh, para jurnalis kesasar, terbagi menjadi dua rombongan.
Empat kawan menumpang di salah satu mobil dobel kabin. Sementara, saya, dengan dua kawan wartawan lainnya, diangkut dengan mobil kelas niaga biasa.
Bak tamu kehormatan, ternyata yang berada di belakang sopir adalah Pak Eddy. Nama Lengkapnya, Eddy Teguh Widodo, kepala Lapas Kelas IIA Besi Nusakambangan. Bersama Eddy, di kursi depan, adalah Dwi Agus Setiabudi, Kalapas Kelas IIA Kendal, Semarang.
Kami harus tergesa-gesa, demi mengejar rombongan Kanwil Kemenkumham dan Kalapas lain yang mengendarai mobil double gardan. Maklum, sebagian jalan di Nusakambangan, sempit dan banyak lobang.
"Ya begini kondisinya, Mas," kata Eddy, sembari mengemudi jalan sempit dan berkelak-kelok.
Dalam kesempatan menyusuri Pulau Kematian, Eddy bercerita mengenai tiga tempat paling angker yang ada di Nusakambangan. Berikut ulasannya.
Tunggal Panaluan (Pospol Nusakambangan)
Beberapa kali, Eddy dan juga Dwi Agus menjelaskan beberapa lokasi di Nusakambangan. Rupanya, Eddy dan Dwi Agus adalah rekan seangkatan di Akademi Ilmu Pemasyarakatan yang lulus 32 tahun lalu. Boleh dibilang, mereka adalah para senior di dunia kesipiran Indonesia. Tampak sekali mereka akrab satu sama lain.
"Nah, ini nih sering ada tubrukan. Kemarin ada sepeda motor tabrakan," ujar Eddy, ketika mobil melintasi kelokan tajam. Kelokan itu, di sebelah kiri lintasan tebing karang, sebelah kanan adalah perairan Laguna Segara Anakan.
"Ada juga yang nyemplung," imbuhnya.
Kelokan itu terletak sekira 1 kilometer arah barat Pos Kepolisian Sub Sektor Nusakambangan. Di belakang Pos Polisi itu, terletak Lapangan Tembak Tunggal Panaluan. Lapangan tembak ini adalah bekas penjara Limus Buntu yang hanya sedikit tertinggal puingnya yang tertutup semak belukar pekat.
Kesan angker semakin terasa ketika kami mulai melintasi wilayah ini. Bagaimana tidak, eksekusi Freddy Budiman dan tiga terpidana lain pada April 2016 lalu dilakukan di lapangan ini. Sebelum itu, pada Juli 2015, dua tersangka Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumuran juga meregang nyawa di tempat itu.
"Banyak itu petugas yang diliatin di situ," kata Eddy. Diliatin dalam bahasa Eddy adalah mengalami penglihatan atau penampakan makhluk halus. “Seperti apa Pak?” tanyaku.
"Ya kayak orang," kata Eddy singkat. Bulu kuduk pun berdiri.
Advertisement
Pertelon (Pertigaan) Kamboja
Di ruas jalan yang sama, sekira 2 kilometer dari ketika Eddy menyebut Mbah Sukur, ada pemandangan aneh. Di simpang tiga itu, persis di tengah-tengah pertigaan, ada pohon kamboja besar yang berdiri tegak. Cabang-cabangnya meranggas hampir tak berdaun, menambah kesan tua dan mistis.
"Nah, kalau di sini banyak, Mas. Ini tempat nongkrong," kata Eddy lagi.
Tetapi, lagi-lagi Eddy tak terang menjelaskan apa yang dia maksud. "Biar orang sini saja, Mas, yang menjelaskan," kata dia, pendek.
Pertigaan itu, ke kiri mengikuti jalan beraspal menuju Lapas Permisan, Kembang Kuning, Pasir Besi, dan Lapas Besi. Jalannya beraspal hitam. Sementara, ke kanan, merupakan jalan beton menuju Lapas yang dipersiapkan untuk narapidana resiko tinggi atau ‘high risk prisoner’. Lapas resiko tinggi itu terletak di sebelah barat bekas reruntuhan Lapas Karang Anyar.
Soal Pertelon Kamboja, petugas Lapas yang mengantar kami ketika pulang, menuturkan bahwa tempat itu adalah pusat keramaian dedemit-dedemit Nusakambangan. Katanya, berdasar cerita petugas senior, di pertigaan, terutama di sekitar pohon kamboja yang berada di tengah pertigaan, adalah tempat favorit setan nongkrong.
"Yang kelihatan di situ makanya macam-macam. Ada perempuan berpakaian putih berambut panjang. Ada juga sosok biasa, orang lagi duduk," tuturnya.
Itu sebabnya pula, pohon kamboja itu tak ada yang berani menebang. "Kalau menebang nanti bubar malah repot. Bisa ngamuk," ujarnya.
Lembah Nirbaya dan Lapas-Lapas Nusakambangan
Selain tempat yang dilewati itu, dia juga bercerita bahwa di Lembah Nirbaya, yang kini telah berubah menjadi Lapas Terbuka Industri Nusakambangan, kerap kali petugas atau napi asimilasi mendengar suara atau penampakan. Bahkan, itu terjadi di siang bolong.
"Pernah sering banget ada orang yang minta tolong, bahkan sampai ke Lapas lainnya. Katanya minta makamnya dibenerin. Ternyata setelah dilihat oleh Pak Kyai, memang benar makamnya itu menghadapnya salah. Itu lho, yang orang Nigeria," katanya.
Berdasar catatan Liputan6.com, memang ada dua WNA Nigeria dieksekusi di Lembah Nirbaya, yakni terpidana mati kasus narkoba asal Nigeria, Samuel Iwuchukwu Okoye, dan Hansen Anthony Nwaolisa, Juni 2008.
Sementara, kata dia, hampir seluruh Lapas Nusakambangan memiliki cerita mistisnya sendiri-sendiri, seperti suara sendal berketipak di lorong-lorong Lapas tengah malam, suara tangisan, lolongan minta tolong, rintihan hingga teriakan juga kerap terdengar di Lapas-Lapas itu.
Advertisement