Liputan6.com, Tuban - Beberapa hari terakhir ini keberadaan patung panglima perang Tiongkok, Kongco Kwan Sing Tee Koen alias Panglima Kwan Kong (ada yang menyebut Dewa Perang Kongco) di Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur, memicu polemik, terutama di media sosial (medsos).
Tak hanya itu, sejumlah organisasi masyarakat (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) berunjuk rasa pada Senin, 7 Agustus 2017, di depan Kantor DPRD Jawa Timur. Mereka meminta agar patung yang pembangunannya menelan dana hingga Rp 2,5 miliar itu dirobohkan.
Permintaan ini langsung direspons oleh pengurus klenteng yang menggelar rapat untuk menanggapi penolakan sebagian masyarakat atas patung tersebut.
Advertisement
Forum Umat Beragama (FUB) sempat memberi masukan kepada pengurus klenteng Kwan Swie Bio. Alhasil diputuskan, patung panglima perang Tiongkok tersebut ditutup kain putih untuk sementara waktu.
Baca Juga
Selanjutnya, atas permintaan pengurus kelenteng, biaya serta penutupan patung yang diresmikan Ketua MPR Zulkifli Hasan pada Juli 2017 itu diserahkan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat.
Kendati demikian, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban belum bisa mengeluarkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan Patung Kongco Kwan Sing Tee Koen alias Panglima Kwan Kong di Kelenteng Kwan Swie Bio, karena masih ada permasalahan hukum di kepengurusan kelenteng lama dan baru.
"Pemkab belum bisa mengeluarkan IMB pendirian patung Dewa Perang Kongco dalam waktu dekat ini," ucap Kepala Badan Kesbangpol Pemkab Tuban, Hari Sunarno, di Tuban, seperti Liputan6.com kutip dari Antara, Kamis (10/8/2017).
Menurut dia, pengurus kelenteng lama masih mengajukan kasasi terkait kasus gugatan perdata kepengurusan kelenteng setempat.
"Permasalahan gugatannya saya kurang tahu pasti. Ya, pemkab belum bisa mengeluarkan IMB yang diajukan pengurus kelenteng baru terkait pembangunan patung," dia menjelaskan.
Pengurus kelenteng baru, menurut dia, sudah mengajukan IMB pendirian patung. Yang jelas, kata dia, penutupan patung dengan kain putih atas permintaan pengurus kelenteng setelah memperoleh masukan dari Bupati Tuban Fatkhul Huda bahwa pengurus kelenteng harus bisa menenangkan kondisi penolakan yang marak melalui medsos.
"Patung sudah tertutup kain putih sejak sehari lalu (Minggu, 5 Agustus 2017). Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga menyarankan patung ditutup," Hari menambahkan.
Adapun Kasubbag Humas Polres Tuban, AKP Elis Suendayati, mengatakan polisi hanya mengamankan di luar kelenteng, bukan pengamanan patung. "Polisi hanya sebatas mengamankan kelenteng dari luar rutin seperti biasanya bukan pengamanan patung," tuturnya.
Patung panglima perang Tiongkok yang tertinggi se-Asia Tenggara yang masuk catatan Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) diresmikan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan pada 17 Juli 2017. Di fondasi patung tertulis patung sumbangan keluarga Hindarto Lie Suk Chen Surabaya. Sedangkan di bawahnya tertulis: "design by (Koh Po) Hadi Purnomo dan Ir Djuli Kurniawan".
Beragam Tanggapan
Sementara itu, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) menyikapi polemik Patung Yang Mulia Kongco Kwan Seng Tee Koen, di kelenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jatim.
MATAKIN dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 9 Agustus 2017, menjelaskan bahwa Kwan Seng Tee Koen atau Shen Ming Kwan Kong dihormati dan diteladani umat Konghucu karena setia pada janji dan menjunjung tinggi kebenaran, bukan karena keahlian berperang.
Menurut MATAKIN, pembangunan patung yang terletak dalam lingkungan Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban dan tak terlihat dari luar tersebut tak ada kaitannya dengan politik. Hal itu murni masalah spiritualitas dan keteladanan yang diajarkan dalam agama.
"Perlu dilakukan silaturahmi yang lebih intens dengan masyarakat sekitar, tokoh agama dan tokoh masyarakat, untuk menjelaskan persoalan yang ada tanpa ada upaya-upaya politisasi karena tak ada kaitan dengan masalah kepahlawanan nasional, tapi murni agama," tulis pernyataan tersebut, dilansir Antara.
Bila ada persoalan administratif, MATAKIN meminta agar dapat diselesaikan karena hal tersebut menyangkut keagamaan yang mengacu pada aturan-aturan keagamaan. Selain itu, menurut MATAKIN, merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi dan melayani umat beragama secara adil.
"Kami yakin, bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran dan saling menghargai antara etnis, agama suku dan golongan seperti yang dapat kita rasakan selama ratusan tahun dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan falsafah Pancasila. Kami yakin nilai-nilai ini masih dipegang teguh oleh bangsa Indonesia," tulis MATAKIN, yang merupakan lembaga resmi yang menaungi umat Konghucu Indonesia.
Tanggapan Kiai NU
Polemik patung panglima perang Kongco Kwan Sing Tee Koen di Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur, turut mengundang perhatian Rais 'Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Makruf Amin untuk berkomentar. Ia meminta Pemkab Tuban segera mencari solusi agar konflik dapat diredam.
"Untuk sesuatu hal yang sudah terjadi, pemerintah daerah harus segera mengambil langkan untuk meredam konflik sehingga tidak terjadi tindakan anarkis oleh masyarakat," kata dia, saat berkunjung ke Pondok Pesantren Nurul Cholil, Kabupaten Bangkalan, Rabu, 9 Agustus 2017.
Menurut Makruf, masyarakat harus mengambil pelajaran dari kejadian ini. Jika hendak membuat sesuatu, kata dia, sebaiknya dipikirkan kemungkinan akan menimbulkan protes atau tidak.
"Jika berpotensi jadi polemik, sebaiknya tidak usah dilaksanakan," kata dia.
Makruf melanjutkan, pemerintah daerah harus lebih peka membaca situasi. Bila ada pengajuan izin membangun sesuatu dari warga, pemerintah daerah mestinya mengkaji lebih dalu apakah berpotensi konflik atau tidak. "Kalau berpotensi konflik, jangan diberi izin," dia mengungkapkan.
Surat Terbuka Mahasiswa Buddhis
Sebelumnya, Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Mereka mengadu agar Patung Kwan Sing Tee Koen alias Panglima Kwan Kong tidak dirobohkan.
"Mendirikan patung adalah bentuk ekspresi keagamaan. Patung tersebut merupakan salah satu representatif dewa dari aliran Tri Dharma yang merupakan bagian dari Agama Buddha dan Agama Buddha pun statusnya saat ini diakui dan dilindungi di Indonesia," jelasnya dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com.
Lokasi berdirinya patung tersebut juga berada pada area kelenteng atau vihara, bukan di tempat umum sehingga keberadaannya tidak mengganggu ketertiban umum, bahkan patung dewa tersebut dapat menjadi daya tarik wisata lokal Kota Tuban bagi para wisatawan.
Oleh karena itu, mereka khawatir jika Patung Dewa Kwan Sing Tee Koen berhasil dirobohkan, bukan tidak mungkin akan muncul aksi-aksi intoleran serupa yang dapat mengancam simbol-simbol agama lainnya seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Patung Dewa di Bali dan unsur-unsur budaya dan simbol agama lainnya di Indonesia.
"Pak Presiden dan para Menteri, kami sebagai Mahasiswa Buddhis tentunya ingin menjaga NKRI ini tetap utuh di bawah semangat Pancasila," tulisnya yang juga diunggah di situs petisi change.org.
Advertisement