Sukses

Kabar Kemerdekaan Sampai Jambi dengan Kode Morse

Detik-detik kemerdekaan juga diwarnai sejumlah aksi heroik pemuda dan pemudi di Jambi. Kabar kemerdekaan datang berupa kode morse.

Liputan6.com, Jambi - Perjuangan meraih kemerdekaan sungguh tak mudah. Kala itu sekedar menyampaikan pesan kemerdekaan pun sulit. Masih kuatnya masa pendudukan Jepang, menjadikan para pejuang harus bertaruh nyawa agar pesan sang proklamator tersiar di seluruh negeri.

Jangankan media sosial, alat komunikasi yang langka menyebabkan pesan pembacaan proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta hanya bisa didapat oleh orang-orang tertentu saja. Salah satunya adalah pesan berupa kode melalui alat morse.

"Dari kode itulah, para tokoh di Jambi mendengar berita kemerdekaan," ujar salah seorang sejarawan dan budayawan Jambi, Jafar Rasuh, pertengahan 2015 lalu.

Menurut dia, cita-cita kemerdekaan benar-benar mempersatukan berbagai tokoh di Jambi. Mulai dari tokoh politik, pemuda/pemudi, tokoh masyarakat. Bahkan hingga kalangan pejabat.

Berdasarkan catatan dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI (1945-1949) di Provinsi Jambi yang disusun oleh Dewan Harian Daerah Angkatan 45 menyebutkan, Jambi pada awal-awal kemerdekaan terbagi dalam sembilan wilayah.

Berita kemerdekaan 17 Agustus 1945 didengar pertama kali di Jambi melalui alat morse. Pesan itu diterima oleh pegawai telegrap. Salah satu tokoh penting dalam menyebarkan berita kemerdekaan itu adalah Abdulah Kartawirana. Pada saat itu ia adalah salah satu pejabat penting di Jawatan Penerangan Jepang (Hodohan).

Nama Abdulah Kartawirana saat ini diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Kelurahan Telanaipura, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Meski bekerja di kantor Jepang, Abdulah adalah salah satu tokoh pergerakan. Mendengar proklamasi sudah dibacakan, jiwa perjuangannya muncul. Pekik kemerdekaan tak ingin disimpannya sendiri. Ia ingin mengabarkan kepada seluruh khalayak di Jambi.

Dengan sembunyi-sembunyi, pada 20 Agustus 1945, Abdulah kemudian menghubungi tokoh-tokoh politik dan pemuda di Jambi. Hingga pada 22 Agustus 1945, ia mengumpulkan perwakilan dari seluruh golongan di rumahnya di Kota Jambi.

Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk organisasi atau badan perjuangan. Usai pertemuan itu, berita akan kemerdekaan benar-benar tak terbendung. Setiap pemuda di Jambi memakai lambang merah putih di dada. Pekik kemerdekaan sahut menyahut saat sesama saling menyapa.

Saksikan video menarik di bawah ini:

 

2 dari 2 halaman

Menara Air Bersejarah

Masih berdasarkan buku Sejarah Perjuangan RI di Provinsi Jambi. Selain melalui pesan politik, sejumlah aksi heroik juga mewarnai awal-awal kemerdekaan di Jambi. Salah satunya adalah aksi heroik dua pemuda Jambi bernama R. Husin Akip dan R. Amin Amini dengan berani mengibarkan merah putih berukuran cukup besar di atas menara air (water toren) pada 19 Agustus 1945.

Menara air itu saat ini dijadikan salah satu fasilitas PDAM Tirta Mayang, Kota Jambi. Fasilitas yang biasa disebut menara air Benteng ini dibangun Belanda pada tahun 1928. Awal dibangun adalah sebagai menara untuk mengontrol musuh yang melintas di sungai Batanghari. Ini menjadikan menara tersebut adalah bangunan tertinggi di Jambi pada masanya.

Aksi pengibaran bendera merah putih juga dilakukan dua orang pemudi bernama Zuraida dan Sri Rejeki. Kedua remaja ini nekat mengibarkan merah putih di sebuah kantor yang ditempati pejabat sipil Jepang. Gedung itu saat ini dinamakan Gedung Putra Retno.

Aksi para pemuda dan pemudi Jambi berlanjut dengan penurunan bendera Jepang Hinomaru yang tengah tegak berkibar di depan kantor polisi karasidenan yang saat ini dijadikan Maporesta Jambi.

Usai bendera Jepang diturunkan, para pemuda lantas menaikan bendera merah putih. Empat orang putri yang mengibarkan merah putih itu adalah Zuraidah, Sri Rejeki, Nursiah dan Nuraini.

Satu persatu bendera merah putih berkibar di sejumlah titik di Jambi. Bahkan sampai di rumah-rumah para pejabat yang saat itu masih di bawah Jepang. Merah putih dikibarkan di rumah pejabat di Jambi adalah rumah Makalam. Makalam adalah Gunco atau wedana dalam pemerintahan Jepang.

Pengibaran merah putih itu menjadikan pemerintah Jepang geram dan memerintahkan seluruh pejabat menurunkan bendera merah putih. Namun upaya itu langsung ditentang para pemuda. Dinding-dinding rumah, toko, gedung perkantoran hingga rumah pejabat penuh dengan tulisan "Sekali Merdeka Tetap Merdeka", "Merdeka Atau Mati".