Liputan6.com, Cirebon - Perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda terus berlanjut setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Peperangan rakyat dan tentara Indonesia pasca-kemerdekaan masih terjadi di berbagai daerah, termasuk di Kota Cirebon. Tepatnya pada 14 Agustus 1947, pejuang kemerdekaan dan rakyat Cirebon dikagetkan kedatangan penjajah.
"Sejak hari pertama Agresi Militer Belanda, saat itu penjajah masuk lewat Stasiun Cirebon, Jalan Kejaksaan. Kedatangan Belanda lewat stasiun tidak disangka karena saat itu perhatian dan kekuatan pertahanan Kota Cirebon dipusatkan ke laut," ucap sejarawan Cirebon, Nurdin M. Noor, Senin, (14/8/2017).
Dia menceritakan, saat pasukan penjajah masuk sebelum matahari terbit langsung menggerebek rumah sejumlah pejuang kemerdekaan Indonesia di Cirebon. Tentara penjajah lalu menangkap empat pejuang kemerdekaan, yakni Sutamin, Suko, Kasmira, dan Sawaf.
Keempat pejuang kemerdekaan tersebut kemudian diikat dan diseret hingga ke lapangan Gua Sunyaragi. Warga sekitar melihat perbuatan keji tentara Belanda yang menembak mati para pejuang kemerdekaan di Cirebon.
"Kecuali Sawaf dan sampai sekarang tidak tahu apa alasan Sawaf tidak ditembak di hadapan warga Cirebon saat itu," ujar dia.
Baca Juga
Sejak hari pertama Agresi Militer Belanda, situasi Kota Cirebon sangat genting. Pusat perhubungan, seperti stasiun radio, kantor telepon, dan stasiun kereta api hancur menjadi sasaran serangan musuh. Kawat telepon banyak yang diputus oleh mata-mata Belanda agar tentara dan rakyat Cirebon tidak bisa berkomunikasi dengan luar daerah.
Saat itu, ujar Nurdin, Komandan Brigade V Letkol Abimanyu, Kepala Staf Mayor Kusno Utomo, dan Kepala Operasi Kapten Kresno Abdul Kadir berusaha mendapatkan informasi dengan cara mengirim surat ke segala jurusan setiap hari. Namun, kurir yang dikirim tidak ada yang kembali, sehingga staf brigade tidak mengetahui situasi di wilayahnya.
"Itulah sebabnya serangan tentara Belanda ke Kota Cirebon terbilang sangat mendadak," tutur Nurdin.
Para perwira staf Brigade V Sunan Gunung Jati tiba-tiba melihat tank musuh lewat di depan markas Brigade menuju pelabuhan. Pada waktu itu, komandan markas Brigade Sunan Gunung Jati dan beberapa stafnya menyelamatkan diri lewat pintu belakang.
Sebagian anggota Brigade V Divisi Siliwangi mengundurkan diri ke utara, lereng Gunung Ciremai, tepatnya di Desa Mandirancan, Sukahaji, dan Rajagaluh. "Staf brigade bersama komandan mengundurkan diri ke Cilimus, kemudian ke Kuningan dan bergabung dengan Batalyon Roekman yang masih utuh," ujar dia.
Kepala Staf Brigade V Mayor Kusno Utomo mundur ke Kabupaten Majalengka. Saat itu, kata Nurdin, Batalyon Rukman telah mempersiapkan pertahanan untuk menahan serangan tentara Belanda dari Desa Sindang Laut, Beber, dan Mandirancan, yang merupakan jalan masuk penjajah Kabupaten Kuningan.
"Untuk pertahanan tersebut, ditugaskan pasukan Kompi I pimpinan Kapten E Slamet dan Kompi III pimpinan Kapten Joeber Arbina," Nurdin menambahkan.
Advertisement
Di tengah mempersiapkan pertahanan tersebut, beberapa tentara Siliwangi bergerilya. Bersama rakyat dan anak muda pantura Jawa Barat, mereka akhirnya dijuluki tentara Kancil Mas atau Kancil Merah.
Selama gerilya, pasukan Kancil Merah selalu berkoordinasi dengan Kapten Mahmud Pasha. Pasukan Kancil Mas atau Kancil Merah terdiri dari pejuang kemerdekaan yang usianya rata-rata 17-20 tahun.
"Karena masih muda, sehingga dikenal lincah, makanya dinamakan Pasukan Kancil Mas atau Kancil Merah," kata Nurdin.
Berbagai peristiwa pertempuran pun dihadapi pasukan tentara Siliwangi. Seperti di perempatan Kejaksaan, yang sekarang dipasang Tugu Tentara Siliwangi, serta Jalan Kartini 7, Hotel Beringin, kawasan Tuparev, Cirebon, hingga di Jalan Tentara Pelajar.
"Kelima lokasi tersebut bagian yang tidak terpisahkan dengan alur perjuangan tentara Siliwangi atau Kancil Mas. Sekarang menjadi nama jalan dan nama tempat," sejarawan itu memungkasi penjelasan seputar jejak para pejuang kemerdekaan di Cirebon.