Liputan6.com, Sanggau - "Jeruk...jeruk..jeruk. Salak..salak..salak," teriak pemuda itu sambil merangkak. Begitulah cara ia berjualan. Menyusuri lorong-lorong dan jalan. Rangkakan demi rangkakan, panas, dan hujan ia lalui, demi bertahap hidup. Peluh keringat membasahi. Sorot matanya tajam. Dia berjalan merangkak.
Julhakim nama lengkapnya. Pria kelahiran 1994 asal kawasan Transmigrasi Belangin III di Dusun Padas Suryan, RT/RW 006/002, Desa Belangin, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ini berjualan merangkak sejauh puluhan kilometer.
Buah jeruk dan salak terikat rapi di leher pria yang memiliki keterbatasan itu. Ia tidak bisa berjalan normal seperti anak-anak lainnya sejak lahir. Namun, hal itu tidak membuatnya malas apalagi mengeluh. Baginya, dengan berjualan, ia bisa bertahan melawan kerasnya kehidupan.
Advertisement
Kemalangan sang bocah itu tidak berhenti di situ. Kedua orangtuanya hingga kini tidak diketahui di mana keberadaannya.
Sungguh malang, sejak lahir, ia dirawat bapak angkatnya bernama Mustafa yang sudah meninggal dunia setahun lalu. Ia kembali sendiri, melawan sepi, dan hidup mandiri.
"Saya tidak mau mencuri. Mengeluh tidak guna. Saya harus kerja. Apa pun saya kerjakan. Ya salah satunya saya jualan buah jeruk dan salak," ucap Julhakim, lirih menahan sedih.
Keuntungan yang didapatkannya, puluhan ribu dari menjual buah jeruk dan salak. "Rp 60 ribu per hari. Saya berjalan merangkak ini keliling Pasar Sanggau, terminal, ke rumah sakit," ujar Julhakim.
Sejak dini hari hingga larut malam, ia berjualan dengan cara merangkak. Menjajakan salak dan jeruk. "Kaki saya terkelupas pas lutut kena aspal," ucapnya.
Dia bercita-cita, ingin membeli motor Tossa, jika nantinya uang yang dikumpulkannya sudah banyak. "Pengen beli motor Tossa. Untuk jualan. Uang ditabung. Ada Rp 300 ribu terkumpul," kata dia, penuh harap.
Baca Juga
Lelah terlihat dari wajah polos pria bertubuh kurus itu. Namun, hal itu tidak mempengaruhi jerih payah usahanya.
"Capek, tapi, ya mau gimana lagi. Namanya juga usaha. Saya tak mau menyusahkan orang lain. Saya harus mandiri," tuturnya, bersemangat.
Buah jeruk dan salak yang dijualnya laku setiap hari. Harapan dan kegigihan dia berjuang dengan cara berjualan merangkak.
"Biasa 20 sampai 100 kantong laku semua. Satu kantong setengah kilo gram. Satu kantong Rp 10 ribu. Saya ambil jeruknya dari pengepul jeruk di sini. Saya setor ke dia," ucapnya, mengusap keringat.
Jeruk dan salak dia  pikul di leher. Dia berjalan merangkak sejauh puluhan kilometer. "Saya tidak lelah jualan. Harus tetap hidup. Mau minta sama siapa? Yang jelas, saya harus bertahan hidup dengan berjualan," tuturnya.
Yang terpenting bagi dia, hidup bukan untuk bermalas-malasan. Apa pun usahanya asal ada kemauan keras, apalagi sudah tidak ada lagi yang bisa digantungkan. Walaupun hidup sendiri di sebuah masjid, ia ikhlas. Dinginnya malam tanpa sehelai selimut.
"Dari pada mengemis, lebih baik saya jualan. Ini halal. Bukan mencuri. Saya setiap hari tidurnya di masjid. Saya hidup seorang diri. Orangtua angkat saya sudah meninggal satu tahun lalu. Orangtua asli saya, saya tidak tahu di mana," ucapnya.
Â
Â