Liputan6.com, Jayapura - Mama Merry Dogopia (45), terlihat semringah. Siang itu, kedua tangan Mama Merry cekatan memilah noken satu demi satu.
Mama Merry tidak sendirian. Dengan dibantu tiga pegawai Bank Indonesia (BI) Perwakilan Papua, ia sibuk memasukkan satu per satu noken ke dalam plastik bening, sebagai pembungkus tas rajutan asli masyarakat Papua.
"Saya sudah sering diajak pameran dengan BI. Hari ini, saya sedang persiapan pameran di Jakarta, pada 18-21 Agustus 2017," ucap Mama Merry yang juga sebagai Ketua Noken Ania yang ditemui Liputan6.com di Jayapura, Rabu (16/8/2017).
Advertisement
Ania, dalam bahasa Paniai memiliki arti jati diri. Tepatnya, noken sebagai jati diri orang asli Papua.
Komunitas Noken Ania memiliki anggota sekitar 200 orang yang secara keseluruhan adalah perempuan asli Papua perajut noken. Komunitas ini tersebar mulai dari Angkasa, Kota Jayapura hingga Sentani, Kabupaten Jayapura.
Baca Juga
Mama Merry bersama dengan komunitasnya bahkan bisa menghasilkan Rp 3 juta hingga Rp 4 juta laba bersih dari penjualan noken setiap diajak mengisi stan pameran.
Tapi, penghasilan untuk harian, tak menentu. Kadang hanya mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu per hari.
Jika tak sedang mengisi pameran, hasil noken rajutan Mama Merry dan Komunitas Noken Ania dijual di sekitar pelabuhan, pasar, hingga membuka lapak di trotoar jalan. Noken dari akar anggrek atau kulit kayu, menurut Mama Merry, masih menjadi pilihan favorit pembeli. Hanya saja, bahan dasar noken saat ini sangat sulit didapat.
"Bahan dasarnya, harus dipesan dulu dari daerah Paniai atau dari perajin kulit kayu," kata Mama Merry yang mampu menyekolahkan dua anaknya di perguruan tinggi di Kota Lampung dan Padang, dari hasil penjualan noken.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Aktif Gunakan Nontunai
Mama Merry dan Komunitas Noken Ania bangga menjadi perajin noken Papua. Berbagai kreasi dan hasil rajutannya bahkan hampir tersebar dan digunakan oleh seluruh masyarakat provinsi lain di Indonesia.
"Banyak masyarakat dari daerah lain di luar Papua yang senang membeli noken, di saat ajang pameran. Noken yang sudah dibeli, berarti dibawa pulang ke tempat tinggalnya dan akan digunakan di sana," tutur dia, dengan nada bangga.
Apalagi, noken merupakan tas tradisional masyarakat asli Papua yang diakui Badan PBB Urusan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO), sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Mama Merry telah puluhan tahun menjalani aktivitasnya sebagai perajin noken. Setiap hari, ia bisa menghasilkan 2-3 tas noken anyaman dari bahan dasar benang. Noken yang diperjualbelikan berkisar Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu.
Mama Merry mengungkapkan, banyak pesanan yang sudah diterimanya. Tak jarang, uang pesanan noken dari luar Papua atau luar Jayapura, ditransfer ke rekening bank.
"Saya biasa melakukan sistem pembayaran secara nontunai, untuk jual beli noken," kata dia.
Sistem nontunai juga meminimalkan peredaran uang palsu. "Apalagi, seperti saya, yang masih susah membedakan uang asli dan palsu," Mama Merry menambahkan.
Sistem pembayaran nontunai bagi Mama Merry memudahkan segalanya. Misalnya, untuk mengirim uang saku tambahan bagi kedua anaknya yang sedang menempuh pendidikan di Padang dan Lampung.
Sejak tujuh tahun lalu, Mama Merry telah memiliki rekening bank dan telah menggunakan transaksi nontunai lewat anjungan mandiri tunai atau ATM dalam kegiatan sehari-hari.
Ia pun mengajak mama perajin noken lainnya, untuk memiliki rekening bank. Dengan demikian, mereka dapat menggunakan ATM untuk mempermudah transaksi lainnya.
"Jika sewaktu-waktu, saya sedang membutuhkan uang, bisa langsung mengambil di ATM atau melakukan transaksi lainnya lewat ATM," ujarnya.
Mama Merry berharap, hasil kerja kerasnya melestarikan noken dapat dihargai oleh pemerintah atau pihak lainnya. Misalnya, memberikan bantuan permodalan.
"Kami berharap modal itu bisa ditransfer melalui rekening bank, sehingga dapat memudahkan kami untuk menggunakannya," kata Mama Merry yang mengaku belum pernah mendapatkan permodalan dari pihak mana pun.
Advertisement
Transaksi Nontunai di Papua
Adapun sistem pembayaran elektronik atau e-payment di Indonesia terus diperluas, sejalan dengan semangat untuk meningkatkan penggunaan transaksi nontunai yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia.
Lewat pencanangan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) 2014 lalu oleh Bank Indonesia, sistem transaksi nontunai di Papua juga terus digenjot. Salah satunya dalam rangka mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat dan aman.
BI Perwakilan Papua terus menggelar sosialisasi tentang kelebihan dan kemudahan dari transaksi nontunai. Walaupun sampai saat ini, masyarakat di Papua masih nyaman menggunakan sistem pembayaran tunai.
Kepala BI Perwakilan Papua, Joko Supratikto menyebutkan, sejumlah perbankan dan perusahaan telekomunikasi yang beroperasi di Papua juga gencar melakukan sosialisasi pembayaran nontunai. Ini terbukti dengan banyaknya pengenalan uang non tunai.
Pada Bank Mandiri, misalnya, diterbitkan kartu e-money, lalu Bank BRI menerbitkan Brizzi sebagai kartu transakssi nontunai dan Telkomsel mengeluarkan Tcash sebagai pengganti pembayaran tunai.
Untuk menggairahkan penggunaan transaksi nontunai, BI Perwakilan Papua bahkan mewajibkan seluruh pembayaran pada pasar murah jelang Idul Fitri 1438 Hijriah yang digelar 14-16 Juni lalu di Taman Imbi Kota Jayapura dilakukan secara nontunai.
Dalam transaksi tersebut, BI mencatat jumlah kartu elektronik sebagai pengganti pembayaran tunai yang diterbitkan mencapai 2.000 unit. Sementara penjualan pada pasar murah tembus Rp 420 juta selama kegiatan berlangsung.
"Ada sekitar 7.000 transaksi yang dilakukan dan hal yang terpenting adalah masyarakat Jayapura yang belum pernah melakukan transaksi nontunai, sekarang sudah memiliki pengalaman itu," ujar Joko.
Termasuk juga dengan harapan Mama Merry yang bercita-cita memiliki galeri pribadi untuk menjual hasil rajutan nokennya pada gerai galerinya.
"Nantinya, saya akan menyediakan fasilitas nontunai pada galeri itu, untuk memudahkan pembeli yang biasa menggunakan transaksi nontunai," ucapnya bangga.