Sukses

Perjuangan Hidup Pasangan Lansia di Bawah Tenda Biru

Tenda biru menjadi satu-satunya tempat berteduh pasangan lansia asal Brebes, Jawa Tengah, di tanah miliknya sendiri.

Liputan6.com, Brebes - Sepasang kakek dan nenek selama 11 tahun tinggal di bawah terpal tenda biru. Pasangan itu bernama Mulyono (61) dan Jumriah (55), warga Desa Terlangu RT 4 RW 2, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Desa itu hanya berjarak empat kilometer dari pusat pemerintahan.

Tak ada barang-barang elektronik satu pun yang dimiliki. Mereka hanya tidur di alas terpal dan terpaksa merasakan panas dinginnya lantai tanah setiap hari.

Tonggak kayu berkelir hitam tenda biru yang ditempati keduanya kini sudah keropos. Padahal, tonggak kayu itu berfungsi sebagai penopang atap terpal untuk menjaga pasangan lanjut usia itu dari terik panas ataupun hujan.

Tenda biru yang ditinggali Mulyono dan Jumirah itu berdiri di tengah-tengah permukiman penduduk desa yang rata-rata sudah berwujud rumah permanen berkeramik dan bertembok. Bahkan, ada beberapa yang memiliki garasi mobil.

"Mboten nopo-nopo mas. Kulo tinggal teng mriki awit tahun 2006, (tidak apa-apa mas, saya tinggal disini sejak tahun 2006)," ucap Mulyono dengan nada lirih, Kamis, 24 Agustus 2017.

Ia menuturkan tinggal di tenda biru itu karena bangunan rumah yang beridi di atas tanah miliknya dibongkar. "Setelah rumah kami dibongkar, kami mendirikan tenda di sini. Nggih niku mas mboten kagungan arto langgeng mbangun rumah (ya itu mas karena nggak punya uang untuk bangun rumah)," tuturnya.

Sebelum tinggal di bawah tenda biru, kakek Mulyono sempat tinggal di rumah milik orangtuanya. Namun, setelah orangtuanya meninggal dunia, rumahnya pun dibagi sebagai warisan.

"Karena anaknya banyak, lalu rumah itu dijual dan warisan yang dibagi-bagi. Saya dapat sebagian," kata dia.

Singkat cerita, di saat kakek Mulyono mendapatkan sebagian warisan, ia diterpa berbagai masalah ekonomi. Hasil warisannya akhirnya habis.

"Saat itu yang sudah ada dan rumah dibongkar karena mau berniat dibangun lagi. Tapi ada saja masalahnya, istri saya sakit lah dan yang lain- lain lagi," kata dia.

Di bawah tenda biru berukuran 2 x 3 meter itu, terdapat bermacam gerabah atau alat masak tertata di sisi-sisinya. Terlihat sebuah lemari cukup besar dengan warna yang sudah pudar berdiri di dalam gubuk terpal tersebut.

Ada juga dipan milik kakek Mulyono yang jarang dipakainya karena tak ada kasur dan hanya beralaskan papan kayu. Mereka lebih memilih tidur dengan beralaskan terpal.

"Ini (gerabah), lemari, dan dipan, saya bawa dari rumah yang dibongkar itu. Banyak rusak karena sering terkena banjir dan kecipratan air saat hujan hujan," seloroh pria yang kesehariannya sebagai pekerja serabutan itu.

Kesabarannya semakin diuji saat hujan besar turun. Pasalnya, tenda biru itu tak mampu menahan derasnya air hujan yang turun dan mengakibatkan tendanya kebanjiran.

"Ya sudah mau bagaimana lagi, kalau hujan ya sudah duduk di atasnya dipan kayu itu sampai hujan kembali reda," jelasnya.

Udara dinginya malam ataupun terik panas matahari di kala siang sudah tak menjadi halangan lagi baginya untuk terus bertahan hidup. "Ngimpi bisa bangun rumah di sini di

atas tanah saya sendiri. Ini satu-satunya yang saya punya," katanya.

Saksikan video menarik di bawah ini:



2 dari 2 halaman

Prinsip Hidup Pasangan di Tenda Biru

Istri Mulyono, Jumriah hanya bekerja sebagai petani bawang merah di Desa Krasak, Kecamatan/ Kabupaten Brebes. Selepas salat Subuh, dirinya berangkat pagi hingga sore baru kembali di tempat tinggalnya.

Sebenarnya, mereka mempunyai anak satu, Yudi Teguh Baskoro (32) yang saat ini bekerja berdagang es di Jakarta.

"Anak saya pernah kena tipu, mau bekerja malah kena tipu di pelayaran. Akhirnya tidak digaji. Sekarang dia di Jakarta kerja jualan es keliling," ucap Jumriah.

Dengan keterbatasan yang dialaminya untuk menjalani hari demi hari, dirinya pun enggan untuk tinggal seatap dengan saudara ataupun rekannya.

"Kalau saya lebih baik susah tapi terhormat daripada mudah tapi meminta- minta. Saya bersyukur masih diberikan kesehatan untuk menjalani hidup sampai sekarang ini," tuturnya.

Tak hanya itu, dirinya juga enggan memohon-mohon meminta bantuan ke pemerintah baik pemerintah desa, kecamatan, maupun kabupaten. "Ya kalau ada (bantuan) ya alhamdulillah. Sebetulnya, masyarakat tidak minta pun, seharusnya pemerintah memperhatikan warganya," katanya.

Kendati demikian, baik Mulyono dan Jumriah tidak begitu menyoal dengan kondisi kehidupanya yang jauh dari kata layak.

"Wong Urip niku kudu marimo ing pandum lan mboten usah ngeluh. Dilakoni mawon mas sing penting sehat (orang hidup itu menerima saja atas kehendak Nya. Dijalani saja mas yang penting sehat)," kata Jumriah menutup perbincangannya siang itu.