Sukses

Giliran Ribuan Warga NU Batang Tolak Full Day School

Rapat akbar menolak penerapan full day school atau sekolah lima hari ini digelar di depan Kantor Bupati Batang.

Liputan6.com, Batang - Ribuan nahdliyin yang tergabung dalam Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Batang, Jawa Tengah, menggelar rapat akbar menolak Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 23 Tahun 2017 yang mengatur kebijakan sekolah lima hari atau full day school. Rapat akbar ini digelar di depan Kantor Bupati Batang.

Massa yang terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh ulama, dan para siswa sekolah, serta diikuti oleh Bupati Batang, Wihaji, dan Wakil Bupati Suyono, menilai kebijakan pemerintah terhadap pemberlakuan full day school tidak tepat. Sebab, hal itu akan mengurangi tingkat pendidikan keagamaan.

Selain itu, mereka beranggapan kebijakan pemerintah tentang FDS akan mengurangi waktu istirahat anak usia sekolah. Pada rapat akbat tersebut, massa membawa beberapa poster yang bertulisan, "Madin Yes, FDS No", Tolak Full Day School", "Hapus Kebijakan Mendikbud", dan "Pak Jokowi Tolong Tolak FDS".

"Kami sebagai kepala daerah akan meneruskan hasil dari rapat akbar ini ke tingkat selanjutnya yang lebih tinggi hingga pemerintah pusat," ucap Bupati Batang, Wihaji, di lokasi rapat akbar, Senin (28/8/2017).

Dengan kata lain, ia akan mendukung tuntutan masyarakat menolak kebijakan diberlakukannya full day school.

"Selama ini, masyarakat masih menjunjung nilai-nilai yang dipegang. Oleh karena kami menolak, FDS dibatalkan," ujarnya.

Bupati Batang menambahkan, ia pun berterima kasih kepada masyarakat dalam menggelar rapat akbar yang bisa berjalan baik dan lancar. "Kami berharap aksi rapat akbar itu dapat didengar oleh pemerintah dan membatalkan kebijakan FDS," katanya.

Ribuan warga NU di Batang, Jawa Tengah, menolak penerapan kebijakan full day school atau sekolah lima hari. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Adapun Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Kabupaten Batang, Mushonif Rois, mengatakan tak ada kalimat lain bahwa FDS harus ditolak karena berkedok pendidikan karakter, padahal itu semua tidak benar.

Ia juga mengajak untuk bersama-sama bertekad membangun karakter akhlak karimah. "Kebijakan FDS mengikis pendidikan pesantren, untuk itu wajib kita tolak," katanya.

Di sisi lain, menurut Mushonif, masyarakat Kabupaten Batang 90 persem adalah warga NU yang mewajibkan anak-anak mereka masuk madrasah.

Sementara itu, Ketua PC GP Ansor Kabupaten Batang, Umar Abdul Jabar, dalam orasinya mengatakan, namanya pendidikan itu memanusiakan manusia.

"Kalau sekolah sampai jam lima (sore) ini tidak memanusiakan manusia. Mari kita yang menjadi guru madrasah untuk tetap mempertahankan madrasah walaupun adanya kebijakan FDS ini," katanya.

Seorang siswa, Maria Ulfa, mengatakan bahwa kegiatan rapat akbar yang diikuti oleh para pelajar semata-mata bertujuan menolak diberlakukannya FDS, bukan untuk membela kepentingan pihak tertentu.

"Jujur saja, FDS tidak tepat diberlakukanya untuk sekolah di Indonesia karena selain mengurangi pendidikan keagamaan anak usia sekolah juga waktu untuk istirahat," tutur Maria Ulfa.

Dalam aksi tersebut, massa juga menolak dengan tegas kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan pemerintah kabupaten/kota di Jateng, terutama yang dianggap sewenang-wenang.

Misalnya, tetap memaksakan kehendak untuk menerapkan lima hari sekolah atau full day school di satuan pendidikan yang ada, tanpa memperhatikan aspirasi penolakan yang berkembang di masyarakat.

2 dari 3 halaman

Warga NU Solo pun Tolak Full Day School

Gelombang protes serupa sebelumnya terjadi di Solo, Jawa Tengah. Puluhan ribu anggota organisasi massa (ormas) NU berkumpul di kawasan Stadion Sriwedari Solo, Kamis, 24 Agustus 2017. Peserta demo menolak kebijakan lima hari sekolah terdiri atas anggota Jami'yah NU, Muslimat, Fatayat, Ansor, PMII, hingga IPNU.

Peserta aksi memadati Jalan Bhayangkara Solo yang terletak di depan Stadion Sriwedari. Kawasan tersebut dijadikan titik kumpul untuk berjalan bersama menuju Bundaran Gladag, Solo, yang berjarak sekitar tiga kilometer.

Selain membawa atribut bendera merah putih dan bendera Nahdlatul Ulama, mereka juga membawa poster yang bertuliskan penolakan pemberlakuan full day school. Tak hanya itu, peserta demo pun meneriakkan yel-yel cabut kebijakan lima hari sekolah.

Ketua Pelaksana Aksi KH Muhammad Mahbub mengatakan warga Nahdliyin menolak dan menuntut agar Permendikbud Nomor 23/2017 segera dicabut. Pasalnya, pemerintah dinilai membuat kebijakan tanpa didasarkan kebutuhan dan tidak dari proses bawah.

"Tuntutannya dalam aksi ini permendikbud itu segera dibatalkan dan tidak dilaksanakan karena memberangus Madin (Madrasah Diniyah)," kata dia di sela-sela aksi.

Mahbub menjelaskan, penolakan itu dilakukan karena sekolah lima hari itu banyak persoalan yang ditimbulkan. Kebijakan tersebut bagi masyarakat kota tidak ada masalah. Namun, untuk masyarakat desa jelas akan menimbulkan masalah.

"Kita ini bukan hanya masyarakat kota, tapi ada masyarakat desa yang jauh sekolahnya dan tingkat ekonominya berbeda. Itu yang jadi masalah," ujarnya.

Dia mengatakan pula, kebijakan full day school hanya akan membuat waktu anak-anak habis dikuras di sekolah. Berdasarkan informasi yang didengarnya, kondisi anak-anak yang mengikuti sekolah lima hari setelah pulang loyo dan tidak memiliki tenaga untuk belajar.

"Kasihan anak-anak jika pulang kondisinya sudah seperti itu," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Penjelasan Presiden Jokowi

Adapun Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang kebijakan sekolah lima hari atau full day school. Saat ini, perpres tersebut masih dalam tahap penggodokan.

"Perpres sudah kami godok dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, nanti kalau selesai akan diumumkan," kata Jokowi usai memberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) di SMP Negeri 7 Kabupaten Jember, Minggu, 12 Agustus 2017.

Jokowi menegaskan, tidak ada keharusan sekolah menerapkan kebijakan lima hari sekolah. Dengan begitu, sekolah yang sudah melaksanakan kebijakan enam hari sekolah tetap bisa melanjutkannya.

"Perlu saya tegaskan berkali-kali, sekolah tidak wajib mempraktikkan sekolah lima hari, namun apabila sudah ada sekolah yang menerapkan full day school bisa dilanjutkan asalkan tidak ada keberatan dari semua pihak," Presiden Jokowi menegaskan.

Sementara, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi mengatakan, perpres ini mengatur kebijakan sekolah lima hari sebagai pilihan, bukan kewajiban.

"Kemungkinan perpres itu akan turun minggu depan. Peraturan Mendikbud ditingkatkan menjadi Perpres dengan berbagai macam penyempurnaan, termasuk saran dari berbagai pihak," kata Muhadjir seperti dikutip dari Antara.

Ia mengatakan, sekolah lima hari adalah pilihan sehingga sekolah yang menerapkan sekolah enam hari bisa jalan terus. Sedangkan sekolah yang sudah menerapkan lima hari, juga bisa jalan terus, asal tidak mengganggu kegiatan diniyah.

"Di Indonesia tercatat sebanyak 9.000 sekolah yang menjadi percontohan dan hampir di semua daerah memiliki pilot project sekolah yang menerapkan lima hari sekolah," kata Muhadjir.

Selama ini, lanjut Muhadjir, masyarakat salah memahami kebijakan full day school yang mengartikan delapan jam belajar di sekolah, padahal delapan jam adalah beban kerja guru.

Perpres Hampir Rampung

Perpres tentang Pembangunan Karakter atau lebih dikenal dengan full day school tak lama lagi diterbitkan. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, saat ini perpres sedang di tahap sinkronisasi dengan peraturan lain.

"Sekarang dalam proses untuk diterbitkan. Kemarin sudah rapat sinkronisasi di Kemenkumham," kata Pratikno usai membuka Pameran Sukarno, di Gedung III Kemensetneg, Jakarta, Selasa, 22 Agustus 2017.

Dengan begitu, tak lama lagi perpres akan terbit dan disahkan. Pepres ini memang disiapkan untuk melengkapi Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017. Pemendikbud itu sempat menuai protes dari berbagai kalangan.

Pratikno menyatakan, perpres ini sudah hampir selesai. Hanya saja, dia belum tahu poin mana saja yang membedakan perpres dengan permendikbud terkait full day school.

"Nanti kalau sudah aja, baru diumumkan," Pratikno memungkasi.