Sukses

Kayu Hanyut Sungai Kampar Jadi Karya Ukir Keren

Hasil ukiran kayu Masdi laku keras saat festival melihat ombak Bono, gelombang hasil pertemuan arus sungai dan laut.

Liputan6.com, Kampar - Kreativitas bisa saja muncul berawal dari kepedulian terhadap lingkungan. Hal itulah yang dilakukan Masdi ketika melihat sungai di dekat rumahnya penuh dengan tumpukan kayu hanyut terbawa arus.

Pria 44 tahun ini kemudian menyulap kayu yang diambilnya menjadi miniatur sampan dan kapal, baik itu kecil ataupun berukuran besar. Tak perlu alat canggih baginya karena hanya bermodalkan benda tajam yang disebutnya Pisau Pancung.

"Saya kerjakan sambil menonton televisi atau kalau tidak ada pekerjaan," kata buruh bangunan dua anak ini di rumah panggungnya di Kelurahan Meranti, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat 18 Agustus 2017 petang

Masdi menjelaskan, seni ukir miniatur sampan dan kapal sudah dimilikinya sejak kecil. Keahlian itu merupakan bakatnya sejak kecil.

Menurut Masdi, kerajinan ukir miniatur ini sudah dimulainya sejak 2009. Saat itu, dia prihatin dengan banyaknya kayu hanyut di Sungai Kampar dan dikhawatirkan mencemari lingkungan. Pasalnya, tumpukan kayu itu menyangkut pula sampah dan mempengaruhi kualitas air serta menimbulkan bau bagi warga sekitar.

"Dari situ kemudian saya pungut kayunya. Ada ragam kayu yang saya ambil, mulai dari Kayu Pulai dan Rengas," katanya.

Untuk miniatur kapal kecil, pria ini terbilang cepat mengerjakannya. Hanya butuh dua hari mengukir pola dasar kapal, dan beberapa hari lagi membentuk layar serta bagian lain kapal. Jadilah kapal layar yang siap dipajang menjadi hiasan rumah.

Untuk bentuk, Masdi mengaku mengingat berdasarkan masa kecilnya. Kala itu, Sungai Kampar tempat tinggalnya selalu dilalui kapal dari Selat Malaka. Kapal bisa lewat di sungainya karena terhubung ke sebuah teluk dan berhulu ke Selat Malaka.

"Dulu kan sering lalu lalang kapal, jadi saya ingat itu. Dari sanalah bentuk yang saya buat, berdasarkan ingatan ketika itu," kata pria yang juga menjual barang harian rumah tangga ini.

Saksikan video menarik di bawah ini:

Siapkan Penerus

Untuk satu miniatur berukuran kecil, Masdi mengaku menjualnya Rp 200 ribu. Nilai ini disebutnya tidak mahal kalau dibandingkan dengan cara mengerjakan dan kreativitas yang dihasilkannya.

"Lihat saja hasil miniaturnya, sebandinglah dengan apa yang dihasilkan," tegas Masdi.

Meski diakui tidak memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama keluarga, Masdi tidak pernah berhenti. Dia terus membersihkan kayu-kayu di sungai dan menciptakan karya-karya baru setiap harinya.

"Tidak hanya kapal, bisa juga saya buat guci. Bisa semua mau bikin apa, kalau ada contohnya. Dan meski perlu pekerjaan lain, mengukir terus saya lakukan, hitung-hitung bisa membersihkan sungai," ucap Masdi.

Masdi menceritakan, karyanya laku keras jika ada festival Bakudo Bono (berselancar di atas Bono). Bono sendiri merupakan ombak yang tercipta karena pertemuan arus sungai dengan pasang laut.

Hanya saja, kretivitas ini tak berbanding lurus dengan perhatian pemerintah. Malahan dirinya mengaku pernah ditipu oknum kecamatan setempat ketika adanya pameran seni dan budaya di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan.

"Kala itu, miniatur saya ini dibawa pakai dua mobil. Kata pihak kecamatan hasilnya akan diberi ke saya. Hanya saja usai kegiatan itu, jangankan uang, miniatur saya yang dibawa juga tak kembali. Ya diikhlaskan saja, nanti pasti ada balasannya, lagian orangnya sudah diganti juga," sebut Masdi.

Agar kreasinya ini tak berhenti ketika dirinya tiada lagi, Masdi berusaha menurunkan bakatnya kepada anak-anal sekitar. Sudah belasan anak yang menjadi anak didiknya dan di antara itu, sembilan orang merupakan anak didik aktif.

"Niat saya cuman satu, agar kegiatan ini tak berhenti di saya. Harus ada generasi penerus supaya seni ukir ini tak hilang," ucapnya.