Sukses

Terancam Tsunami, Bandara Baru Yogya Butuh Analisis Risiko

Pembangunan bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo, dinilai lebih membutuhkan analisis risiko ketimbang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Liputan6.com, Yogyakarta - Pembangunan bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo, lebih membutuhkan analisis risiko ketimbang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hingga saat ini, analisis risiko belum dilakukan secara detail.

"Kalau tsunami terjadi, berapa orang akan mati, di mana saja, di mana yang paling banyak mati, berapa kerugiannya, berapa bangunan yang roboh, dan lain-lain?" ucap Eko Yulianto selaku Kepala Pusat Geoteknologi LIPI, di sela-sela workshop bertajuk "Dukungan Infrastruktur yang Handal untuk Proyek Strategis Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta", di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa, 29 Agustus 2017.

Ia menjelaskan, setelah pemetaan risiko, maka upaya penanggulangan dan mitigasi disusun. Contohnya, pembuatan selter atau masjid yang dimodifikasi menjadi selter, pembuatan hutan pantai, jalur evakuasi, dan sebagainya.

Setelah itu, penghitungan risiko, misalnya berapa persen pengurangan risiko dengan membangun jalur evakuasi, membangun selter, dan lain-lain. "Kalau sekarang saya yakin belum ada penghitungan risiko dan belum ada yang tahu risikonya," ujar Eko.

Ia menuturkan, rawan bencana gempa bumi dan tsunami di selatan Jawa sudah diketahui sejak zaman dulu. Pada peta zaman penjajahan Belanda, tidak ada satu pun rumah di selatan Jalan Daendels (Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan), yang berjarak dua kilometer dari garis pantai. Semua rumah dan bangunan dibangun di sisi utara.

Ia menilai, masyarakat sudah mengetahui ancaman itu sejak dulu. Karena itu, pembangunan bandara di selatan Jalan Daendels membutuhkan pertimbangan risiko yang baik.

"Penanggulangan bencana intinya perilaku manusia, upaya teknis hanya membantu," kata Eko.

Sementara itu, perekayasa Badan Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan penanggulangan dampak dari bencana tsunami tidak bisa dilakukan dengan satu solusi saja, tapi secara holistik.

"Ada potensi yang bisa mengurangi penetrasi gelombang, seperti lewat pohon cemara udang dan gumuk pasir," ujarnya.

Potensi gempa dan tsunami yang mengancam bandara baru Yogyakarta juga dikemukakan Kepala Pusat Seismologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jaya Murjaya. Ia mengatakan, selatan Jawa adalah daerah rawan gempa.

"Untuk gempa, kami menghitung mikrozonasi. Bangunan tahan gempa boleh rusak, tetapi tidak boleh roboh. Dan untuk tsunami banyak dikaji 11-14 meter tingginya sudah dihitung serta apa yang dilakukan," ucapnya.

2 dari 2 halaman

Temuan Deposit Tsunami

Sebelumnya, Tim Peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan deposit tsunami di dekat lokasi pembangunan bandara baru Yogyakarta yang berlokasi di dekat laut di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun.

"Jika waktunya 300-400 tahun lalu, artinya itu menjadi waktu mengumpulkan energi (tsunami)," ucap dia di Yogyakarta, Minggu, 6 Agustus 2017.

Eko menjelaskan, jika terjadi tsunami, kawasan bandara akan terdampak tsunami. Pasalnya, perkiraan jarak titik deposit tsunami dengan lokasi bandara hanya sekitar dua kilometer dengan ketinggian tsunami mencapai enam meter.

"Jangan menyatakan hasil temuan penelitian tidak valid. Tsunami berkembang dari waktu ke waktu dari sejarah masa lalu," ujarnya.

Eko juga mengatakan, 60 persen patok pembangunan bandara baru Yogyakarta berisiko terpapar tsunami. Tidak hanya potensi tsunami saja, lokasi bandara baru Kulon Progo juga rawan kekurangan air jika tak bisa mengelola dan berpotensi terdampak erosi ketika banjir.

Ia mengaku tidak anti-pembangunan bandara. Namun, pembangunan harus bisa menyejahterakan dan melindungi orang di sekitar dan mengedepankan prinsip kehati-hatian.

"Jika potensi bencana tak dipertimbangkan, itu menunjukkan ketidaksiapan pembangunan di daerah yang berisiko. Pembangunan di daerah berisiko harus memiliki lebih dari satu skenario," tuturnya.