Sukses

PNS di Pekanbaru Bolak-balik Penjara karena Kasus Korupsi

Baru bebas, seorang PNS di Pekanbaru, Riau, harus dijebloskan kembali ke penjara.

Liputan6.com, Pekanbaru - Baru saja mendapat pembebasan bersyarat dari kasus terdahulunya, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pernah menjadi pejabat di Pemerintah Kabupaten Pelalawan, Lahmuddin, kembali dijebloskan ke penjara.

Dia kembali terjerat kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 2,4 miliar. Dari jumlah tersebut, sebagian diperuntukkan untuk wisata ataupun jalan-jalan.

Dana itu tak dinikmatinya sendiri, bersamanya ditetapkan pula dua tersangka lain berinisial KSM dan ASI yang belum ditahan. Salah satu di antara tersangka merupakan keponakan dari Lahmuddin sendiri.

Tak hanya itu, dana yang diperuntukkan untuk bencana dengan nama anggaran tak terduga tersebut, juga dinikmati puluhan orang di Pemkab Pelalawan. Semuanya diminta Pidana Khusus Kejati Riau untuk mengembalikan uang negara yang telah dinikmati.

"Saksi-saksi yang diperiksa diduga ikut menikmati. Kami minta mereka mengembalikan, kalau tidak akan diproses," ujar Asisten Pidana Khusus Kejati Riau Sugeng Riyanta di kantornya, Selasa sore, 5 September 2017.

Sugeng menyebutkan, Lahmuddin ketika kasus ini terjadi pada tahun 2012 menjabat sebagai Kepala Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Pelalawan. Kala itu, tersangka menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan bertanggung jawab mengelola bantuan tak terduga.

"Penetapan tersangka dilakukan setelah gelar perkara dari pagi hingga siang hari. Ditemukan tiga bukti kuat dan sah untuk penetapan tersangka," kata Sugeng.

Sugeng menjelaskan, dalam kasus ini pihaknya sudah memeriksa lebih dari 70 orang saksi. Selain itu, juga dilakukan penyitaan dokumen dan penyitaan sejumlah uang.

Menurut Sugeng, tersangka melakukan penyimpangan dengan beragam dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Di antaranya mengunakan dana tidak sesuai peruntukkan, kegiatan fiktif, serta menguntungkan orang lain.

"Dana yang harusnya digunakan untuk bencana dan sosial, ada digunakan untuk biaya wisata. Itu kan tidak benar," tegas Sugeng.

Sugeng menjelaskan, kasus ini berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan penyimpangan Rp 2,8 miliar. Dari hasil penghitungan kejaksaan ditemukan kerugian negara Rp 2,4 miliar dari total anggaran Rp 9 miliar lebih.

Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.

Sugeng berharap, pihak yang menerima aliran dana bisa kooperatif dan mengembalikan ke kejaksaan. "Tolonglah kooperatif, kami bekerja bukan untuk kami. Mengembalikan keuangan negara bukan berati bersalah," Sugeng mengimbau.