Liputan6.com, Bangka - Adik kandung sastrawan cum wartawan Linda Christanty, Tubagus Budhi Firbany alias Budhi Panglima, mendekam di tahanan Polres Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, selama lebih dari satu bulan sejak dinyatakan hilang pada 3 Agustus 2017 Lalu.
Lewat unggahan status Facebook, Linda Christanty yakin adiknya ditahan oknum polisi bersenjata saat sedang keluar dari Kantor Polsek Sukasari Bandung, Jawa Barat, pada tanggal serupa.
"Dia berada di kantor Polsek Sukasari, Bandung karena tengah memberikan keterangan sebagai korban pengeroyokan dan penganiayaan (pasal 170 KUHP dan pasal 351 KUHP)," tulis Linda di status Facebook tertanggal 23 Agustus 2017.
Advertisement
Saat itu, dua polisi yang mengaku sebagai Kepala Unit Buser Polres Bangka dan Penyidik Perkara, Kanit Resum Polres Bangka langsung menyergap Budhi. Mereka membawa sepucuk surat perintah penangkapan dari Kapolres Bangka.
Baca Juga
Rupanya, lanjut Linda, penangkapan itu terkait dengan peristiwa 15 Januari 2015 di kawasan industri Jelitik, Pulau Bangka. Ketika itu Budhi yang merupakan penasihat hukum PT Pulomas, dibantu nelayan dan aparat keamanan TNI Angkatan Laut, berupaya menghentikan aktivitas penambangan timah ilegal yang dilakukan oleh ratusan orang di kawasan industri PT Pulomas.
Kerusuhan terjadi, sejak PT Pulomas membuka muara yang ada di depan gudang. Padaha,l tujuan dari dibukanya muara, agar 7.000-an kapal nelayan yang mayoritas suku Bugis bisa masuk dan melaut.
Tetapi, Kapolres Bangka saat itu, AKBP I Bagus Rai Erliyanto, melarang dibukanya muara. Pembukaan muara dianggap tanpa alasan. Dia lalu menutup muara selama sebulan, sehingga kapal-kapal nelayan tidak bisa melaut dan nelayan-nelayan tidak berpenghasilan.
"Belum puas dengan itu, dia lantas mengerahkan para penambang illegal untuk melakukan penambangan timah ilegal di gudang PT Pulomas. Para penambang timah ilegal ini mengusir nelayan-nelayan yang hendak melaut selama lima hari berturut-turut," tulis Linda.
Kasus itu sempat mencuri perhatian Kapolri Jenderal Sutarman. Walhasil, Kapolres Bangka AKBP I Bagus Rai Erliyanto langsung diperiksa oleh Irwasda dan Propam. "Kapolri Badrodin Haiti (pengganti Sutarman) mengambil tindakan. Kapolres Bangka I Bagus Rai Erliyanto dimutasikan ke Maluku," ujarnya.Â
Tetapi, di tengah proses pemeriksaan, Kapolres Bangka justru membalas dengan mengatur laporannya berdasarkan kesaksian para penambang timah ilegal. Ia melakukan proses hukum secepat kilat atas dasar laporan mereka. Sehingga Budhi dinyatakan berstatus DPO oleh Polres Bangka, sedangkan berdasarkan informasi dari Mabes Polri, Budhi bukanlah DPO.
"Dia juga dituduh melarikan diri, meski dia bukan saksi ataupun tersangka kasus hukum saat meninggalkan Bangka," jelasnya.
Linda yakin, perkara ini direkayasa lantaran Kasat Intel Polres Bangka, membuat pernyataan di media lokal jika dirinya berada di lokasi dan mencegah bentrokan antara ratusan penambang melawan aparat keamanan TNI Angkatan Laut yang membantu pihak keamanan PT Pulomas, dan masyarakat nelayan.
"Padahal yang bersangkutan tidak berada di lokasi. Peristiwa itu juga bukan bentrokan, melainkan aksi ratusan penambang timah ilegal menyerang aparat negara dan masyarakat," kata Linda. Dari bentrokan itulah Budhi dianggap sebagai dalang dari kerusuhan.Â
Sementara itu, Kapolres Bangka yang baru, AKBP Johanes Bangun, membenarkan penangkapan Budhi. Bahkan saat ini, Budhi alias Panglima telah ditetapkan sebagai tersangka.
"Sudah P 21 tahap 2. Artinya berkas sudah lengkap. Tersangka sudah kami serahkan ke jaksa," ujarnya Johanes kepada Liputan6.com, Rabu (6/9/2017).
Johanes menambahkan, Budhi ditangkap karena telah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2015 lalu. Budhi diduga mangkir dari panggilan penyidikan Polres Bangka.
"Tersangka tidak pernah datang. Saya sebagai Kapolres yang baru, memeriksa tunggakan kasus dari Kapolres yang lama. Ternyata ada DPO," ia menegaskan.
Menurut Kapolres Bangka, Budhi disangkakan telah melanggar Undang-Undang Darurat kepemilikan senjata tajam, dan Pasal 335 KUHP dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.
"Yang bersangkutan melanggar UU Darurat masalah sajam dan 335 jo 55 KUHP," Johanes Bangun mengungkapkan.
Â