Liputan6.com, Banyuwangi - Waktu baru menunjukkan pukul 04.00 WIB. Di hari sedini itu, puncak Kawah Ijen sudah ramai oleh pendaki, baik pendaki lokal maupun mancanegara, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Puncak Gunung Ijen berada di ketinggian 2.443 meter.
Suhu di lokasi tidak bisa dianggap enteng. Ditambah medan pendakian yang menanjak dan berkelok, daya tahan tubuh yang baik sungguh diperlukan. Namun di saat sebagian pendaki kehabisan napas dan kelelahan saat mencapai puncak, kami melihat para penambang belerang berjalan cepat, memanggul dua keranjang anyaman rotan di bahunya.
"Misi, permisi," kata salah satu dari mereka, berusaha agar mendapat jalan yang terhalangi salah satu rombongan pendaki.
Advertisement
Sementara itu, beberapa penambang yang dua keranjangnya sudah terisi loh-loh belerang beku bergerak turun ke kaki gunung. Langkahnya cepat dan mantap, sepatu ala kadarnya atau sepatu bot kalau ada, menahan berat badan di tengah licinnya jalur penurunan karena pasir vulkanik.
"Setiap hari ramai seperti ini, Pak?" tanya saya, sekadar membuka percakapan, kepada seorang penambang yang sedang beristirahat di puncak gunung, Sabtu dini hari, 9 September 2017.
"Ya ramai begini," sahut si penambang sambil menyesap rokoknya. "Kalau akhir pekan mesti begini. Ramai dari orang (wisatawan) lokal dan luar (mancanegara). Tapi kalau hari Senin sampai Kamis itu yang banyak bule," kata dia lagi.
Pria bernama Abdul Gofur itu lantas bercerita tentang pekerjaannya yang sehari-hari jadi penambang belerang di Kawah Ijen. "(Saya) sudah delapan tahun nyari belerang di sini, tapi yang lebih lama ada, banyak. Ada juga yang sampai 32 tahun," kata dia.
Ia menambahkan, para penambang ini tidak tentu kapan berangkatnya. Ada yang sejak pagi, siang, bahkan sore. Namun, kata Abdul Gofur, belerang banyak keluar pagi hari.
"Lha iya, terus harus turun ke situ," kata dia seraya menunjuk ke dalam kawah, persis di tempat gumpalan asap putih belerang keluar. Ia seakan meyakinkan kami yang seolah menyangka mereka harus mengerahkan keberanian menanggung risiko turun ke dekat kawah.
Para penambang belerang memang harus turun sekitar 800 meter dari puncak Gunung Ijen ke mulut kawah. Untuk mendapatkan belerang, peralatan yang digunakan pun jauh dari kata aman. Mereka hanya menggunakan senter di kepala, jaket, kaus tipis, serta sarung tangan.
"Nanti lihat dulu anginnya, kalau angin lagi enggak ke arah kita ya aman. Tapi kalau angin lagi ke arah kita, ya harus naik lagi. Jangan nekat, bahaya. Bisa mati," tutur Abdul Gofur.
"Belerangnya itu keluar bentuknya cairan. Lima menit saja sudah keras itu seperti ini," katanya sambil menunjuk hasil pencariannya di dua keranjang rotan miliknya.
Bongkahan belerang murni itu berwarna kuning pucat. Dari jauh seperti bongkahan batu kali yang dicat kuning, tapi kalau dipegang tidak sekeras batu dan teksturnya halus.
Nanti, sambung Abdul Gofur, belerang-belerang itu akan dikumpulkan ke satu pengumpul di kaki gunung. "Belerang ini dijual Rp 1.000 per kilogram (kg). Jadi, saya sekali bawa turun bisa 70 kg. Dalam sehari juga (penambang) bisa naik-turun dua atau tiga kali," ia menjelaskan.
Dengan imbalan itu, sepadankah hasil yang didapat penambang? "Yah lumayan. Daripada jadi petani di kebun, hasilnya tidak bisa dapet segini," jawab pria yang tinggal di kaki gunung itu.
Hidup memang tidak pernah mudah bagi para penambang ini. Alam yang amat indah di sisi satu, dan kehidupan keras para penambang belerang di Kawah Ijen di sisi lain.
Saksikan video menarik berikut ini: