Liputan6.com, Maros - Subdit I Industri dan Perdagangan (Indag) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel menggerebek pabrik pembuatan pupuk ilegal berbahan baku batu kapur di Sulsel.
Pabrik yang diketahui milik inisial RM tersebut terletak di dua lokasi, yakni di Kecamtan Bontoa dan Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dalam penggerebekan, polisi menemukan beberapa mesin penghancur batu kapur.
Polisi juga menyita 205 ton pupuk ilegal yang siap edar. Pupuk ilegal itu terbungkus dalam karung yang tiap karungnya memiliki berat 25 kilogram.
Advertisement
"Batu kapur yang telah dihaluskan menggunakan mesin penghancur selanjutnya dikemas ke dalam karung yang beratnya 25 kilogram kemudian siap dipasarkan ke beberapa kabupaten yang ada di Sulsel dengan harga tiap karung Rp 35 ribu per karung," ucap Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani, Kamis, 14 September 2017.
Menurut Dicky, selama beroperasi 4 tahun, pemilik usaha pupuk ilegal tersebut tak pernah mengantongi izin edar atau tidak terdaftar di Kementerian Pertanian RI. "Usaha ilegal ini baru tercium sekarang. Bayangkan sudah berapa banyak yang telah diedarkan salah satunya ke Kabupaten Enrekang, Sulsel," terang Dicky.
Baca Juga
Batu kapur yang merupakan bahan baku tunggal dalam pembuatan pupuk pembenah tanah ilegal tersebut, beber Dicky, dapat mengganggu kesehatan manusia serta dapat merusak unsur hara tanah.
Atas kegiatannya tersebut, pelaku RM melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 tentang pupuk organik, pupuk hayati, dan pembenah tanah.
Dalam aturan tersebut, kata Dicky, formula pupuk hayati atau formula pembenah tanah yang akan diproduksi dan diedarkan untuk keperluan sektor pertanian, harus memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya serta kegiatannya terdaftar di kementerian.
"Tapi kenyataannya tidak, pupuk ilegal yang diproduksi pelaku tidak memiliki izin edar dan tidak terdaftar di Kementerian Pertanian RI sehingga jelas tak dijamin standar mutu, efektivitas, dan tak ada label izin pada kemasannya. Hal ini juga dapat merugikan petani selaku konsumen," jelas Dicky.
Perbuatan pelaku dijerat Pasal 62 ayat 1 Juncto Pasal 8 ayat 1 huruf a UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun penjara, atau pidana denda sebanyak Rp 2 Miliar dan Pasal 60 ayat 1 huruf f Juncto Pasal 37 ayat 1 UU No. 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta.
 Saksikan video pilihan berikut ini!