Liputan6.com, Cilacap - Angin bertiup kencang menerbangkan pasir-pasir pantai selatan Cilacap, membuat ketapang laut menari ritmis. Di bawah rerimbunannya, kepiting pasir berlarian berebut lubang tak bertuan.
Di siang yang terik itu, puluhan pekerja galangan kapal menurunkan papan kayu meranti dan bengkire Sumatera. Kayu-kayu sepanjang belasan meter itu diangkut dengan trailer yang tampak mungil dibanding kapal yang berdiri megah kendati baru setengah jadi.
Empat pekerja berada di atas trailer untuk menurunkan papan kayu menggunakan balok yang dipasang miring. Papan itu turun ke pelataran galangan dengan lentur, hampir tanpa suara. Tak aneh, para ahli kapal menggunakan kayu itu untuk membalut tulang belikat lambung kapal yang membutuhkan material kelenturan sekaligus kekuatan tingkat tinggi.
Baca Juga
Sebagian pekerja lainnya mengangkut dan menata papan sesuai pesanan kepala tukang. Mereka bekerja serba otomatis. Hafal dengan bentuk dan ukuran papan serta peruntukannya.
Dari kejauhan, seorang lelaki tampak beberapa kali mengacung-acungkan tangan memberi perintah. Dia sang kepala tukang, sekaligus penanggungjawab produksi kapal kursin atau bagan. Namanya Agus Rusmanto. Usianya sekitar 49-an tahun.
Kali ini, dia bertanggungjawab atas pembuatan dua kapal. Masing-masing memiliki panjang 30 meter dan 32 meter. Sementara, lebar bukaan lambung atas adalah 7 meter dan 8 meter.
"Ini jenis kapal kursin atau bagan. Kenapa disebut kapal bagan, karena jenis kapal ini berasal dari Bagan, Riau," kata Agus, akhir Agustus lalu.
Mendengar kata Bagan, kemudian menyaksikan betapa gagahnya kapal itu, seolah-olah waktu berputar ke 150 tahun lalu, kala Bagansiapiapi, ibu kota Rokan Hilir Riau, masih menjadi pusat perdagangan internasional. Pada abad ke-19, Bagan menjadi kota pelabuhan nomor dua penghasil ikan terbesar dunia setelah Kota Bergen, Norwegia.
Sejarah Bagan di Selat Malaka memang tak pernah lepas dari dua kata ini, ikan dan galangan kapal. Kota ini dikenal dengan galangan-galangan kapalnya yang mendunia. Konstruksi kapal Bagan menyebar ke Eropa, Amerika, Asia, dan kota-kota pelabuhan se-Nusantara, termasuk Cilacap.
"Yang bawa ke sini ya karena bosnya asalnya dari Cina Bagan, Riau. Saya mendapat ilmu membuat kapal dari dia," ujar Agus.
Melihat dua kapal setengah jadi itu, beragam pertanyaaan mencuat. Bagaimana menentukan panjang lunas bawah, serang depan, serang belakang ,tulangan dasar, tulangan atas, belikat. Pasti dalam desain kapal itu telah dihitung dengan detail apa yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kapal besar.
Namun, bayangan yang rumit-rumit itu kontan buyar. Aneh bin ajaib, mereka tak membuat kapal pesanan dengan desain. Kapal-kapal itu dibuat tanpa sket sedikit pun.
Advertisement
Suwarso (45), tukang senior di galangan Kapal milik CV Tirta Cahaya Mas Cilacap, mengungkap, mereka membuat kapal tanpa gambar, tanpa sket dan tanpa rincian bahan yang njelimet. Pemesan kapal tinggal memesan panjang kapal, lebar bukaan atas dan tinggi kapal.
"Nggak ada set, hanya ukuran dari bos. Ukuran segini-segini, panjang, lebar tinggi. Jadi maunya bos berapa. Makanya pakai feeling saja," ujar Suwarso, enteng. Sang kepala tukang, Agus, mengangguk, membenarkan.
Suwarso adalah tukang berpengalaman. Bisa dibilang, dia adalah wakil kepala tukang. Tugasnya adalah mengontrol serta membantu belasan tukang-tukang lain serta mengontrol penarik atau helper agar bekerja efisien. Kemampuannya kurang lebih setara dengan Agus, hanya kalah tua dan jam terbang.
"Semua kapal yang dibuat di galangan kita adalah kapal kursin atau bagan. Ciri khasnya bodi tinggi, lebar, panjang. Kalau Pekalongan itu lebar pendek," Suwarso menerangkan.
Suwarso bekerja di galangan kapal sejak akhir 1980-an. Sementara, sepuluh tahun sebelumnya, pada akhir 1970-an, Agus telah menjadi pembantu di kalangan kapal ini. Agus mengaku hidup di galangan kapal sejak masa remaja. Waktu itu dia bertugas sebagai penarik, atau jaman sekarang disebut helper.
"Ya, bantu-bantu tukang. Memanggul kayu, memindah papan, menyiapkan paku, menggeser tulangan yang belum pas," Agus menerawang, mengingat masa mudanya dulu.
Lantas, berapa lama mereka membuat sebuah kapal ukuran panjang 30 meter? “Paling sekitar 6 sampai 7 bulan. Sudah bisa diturunkan ke laut. Tapi itu tergantung jumlah pekerjanya juga. Semakin banyak semakin cepat,” ujar Suwarso.
Berbanding terbalik dengan kebutuhan papan penutup lambung yang membutuhkan jenis kayu ulet dan lentur, tulangan kapal harus menggunakan kayu yang keras sekaligus ulet dan tahan rayap dan hewan bubuk. Maka, para ahli kapal laut menggunakan kayu laban sebagai bahan tulangan.
Kayu ini dikenal kuat, keras dan ulet sekaligus. Itu sebabnya, rayap dan bubuk tak doyan dengan jenis kayu ini.
"Harus dengan kayu laban. Kalau kayu jati bisa pecah. Tapi jati pun biasa dipakai di Pantura. Karena di sana tersedia jati berumur tua," Agus menjelaskan.
Pertama-tama, jelas Agus, kapal dibuat dengan menentukan panjang lunas bawah, memperhitungkan panjang kapal. Lantas, para tukang sibuk membikin, tulang bawah, dan tulang atas.
Selanjutnya, tulangan yang sudah terangkai itu ditentukan tarikan lebar atas dimulai dari lambung. Lantas, tulang samping kiri dan kanan ditimbang menggunakan waterpas agar seimbang.
"Nanti bikin papannya samping, kanan kiri. Tinggal keluarnya berapa. Ngikutin aja. Nanti atas keluar berapa, tinggal mengikuti saja, tarik saja. Misalnya bawah tujuh meter, atas delapan meter. Berarti tinggal atas ditarik 1 meter," kata Agus. Perhitungannya, tentu sudah di luar kepala para kepala tukang.
Kapal yang sudah ditutup dengan papan lantas masuk tahap finishing. Tahap finishing terdiri dari pelapisan viber dan cat khusus anti air. Semuanya, impor. Baru setelah itu, kapal dipasang mesin.
Dalam setahun, Agus dan kawan-kawan mampu membuat hingga tiga kapal ukuran besar. Di samping itu, mereka juga menerima order perbaikan atau dalam bahasa mereka, renovasi kapal. Tiap kali menyelesaikan sebuah kapal, bos besar memberi bonus, di luar gaji harian. Besarannya antara Rp 3 juta hingga Rp 6 juta per orang. tergantung jabatannya.
Menurut Suwarso, tiap kapal membutuhkan biaya antara Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar. Namun, dia sendiri tak tahu pasti berapa harga jual satu kapal.
Beberapa jam di galangan kapal tradisional, keyakinan pun menebal, betapa Indonesia adalah negara maritim dengan pelaut-pelaut ulung nan perkasa. Artefak pengetahuannya berdaya guna hingga masa kini. Kapal-kapal megah itu seakan meniupkan angin segar untuk dunia kemaritiman Indonesia.