Sukses

Ini yang Dibicarakan Raja-Raja se-Nusantara di FKN XI

Dalam Forum Keraton Nusantara (FKN) XI para raja akan mengeluarkan rekomendasi terhadap kondisi kekinian Negara Indonesia.

Liputan6.com, Cirebon - Peserta Forum Keraton Nusantara (FKN) XI akan menggelar pertemuan Raja-Raja se-Nusantara membahas kondisi kekinian Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, nantinya para raja akan mengeluarkan rekomendasi terhadap kondisi kekinian Negara Indonesia. 

Gusti Kanjeng Ratu Hemas, permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwana X, Kasultanan Yogyakarta mengatakan, peran keraton sangat penting menjadi pemersatu bangsa. Apalagi di tengah maraknya kasus ujaran kebencian dan intoleransi.

"Musyawarahnya besok tapi beberapa rekomendasi pokok terkait maraknya ujaran kebencian dan kasus intoleran," kata Ratu Hemas di sela mengikuti rangkaian kegiatan FKN di Kota Cirebon, Sabtu (16/9/2017)

Dia menjelaskan, peran keraton dalam meminimalisir kasus intoleran dengan menggelar kegiatan kebudayaan, adat serta tradisi dari keraton setempat. Dia juga meminta pemerintah mendukung penuh keberadaan keraton di Indonesia dengan beragam kegiatan tradisi yang digelar.

Sementara itu, rekomendasi lain yang akan diajukan kepada pemerintah Indonesia adalah perhatian kepada keraton. Khususnya para raja untuk berperan mempersatukan masyarakat.

"Bukan untuk mereka berdiskusi tapi harus diberikan pengakuan kalau mereka itu ada. Jadi bisa dimanfaatkan bagaimana menyatukan masyarakat yang sekarang sudah tidak toleran lagi," kata dia.

Pada kesempatan tersebut, Ratu Hemas juga memberikan apresiasi atas sambutan Pemkot Cirebon dan masyarakat di Pantura. Berkumpulnya Sultan dan Raja, kata dia merupakan simbol kekuatan pada pelaksanaan FKN.

Dia juga berharap, dari FKN muncul ide dan gagasan lebih baik untuk membawa Indonesia lebih baik. "Tidak hanya sekadar berkumpul, tapi membantu merumuskan masa depan Indonesia," ujar dia.

2 dari 2 halaman

Misi Kesultanan Palembang Darussalam di FKN XI

Salah satu agenda penting dalam Festival Keraton Nusantara (FKN) XI di Cirebon adalah musyawarah Raja-Raja se-Nusantara. Masing-masing keraton dan kasultanan membawa misi penting yang dialami di daerah masing-masing untuk kemudian menjadi rumusan dan direkomendasikan ke pemerintah pusat.

Terhadap kondisi Indonesia khususnya masyarakat sekitar wilayah kerajaan yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, kepada Liputan6.com, mereka mengaku membawa misi menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal di wilayahnya.

"Yang akan didorong dari kami agar ada aturan hukum adat lagi agar. Seperti menyentuh wanita dan wanitanya tidak suka maka kena denda, belum lagi memeluk. Terus hukum adat kamk tentang global warming, pembakaran hutan dan kearifan lokal yang lain di tempat kami sudah hampir tidak ada," kata Sultan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Jumat 16 September 2017.

Secara umum, kata dia, pesan kebhinekaan menjadi topik utama dalam FKN tahun ini. Namun, dari Palembang Darussalam akan mengisi pesan Kebhinekaan tersebut dengan melestarikan adat, adab budaya menjadi prioritas.

"Silaturahim menjadi nomor satu lagi, raja dan sultan setia. Kami ada sebelum kamu ada, kamu ada karena kami akui ada. Untuk itu tidak ada alasan untuk tidak akui kami. Sesuai UU 45 kebudayaan dan Amandemen ke 2 negara mengakui masyarakat adat," ungkap dia.

Lebih lanjut dia mengatakan, di Palembang Darussalam, ada hukum adat  yang mengatur soal kebakaran hutan. Meski tak dapat disebutkan secara rinci, dia memastikan pelaku pembakar hutan di Palembang adalah diusir secara paksa dari tanah Palembang.

Namun demikian, seiring perkembangan di Indonesia, pelaku pembakaran juga harus dihukum.

"Sudah dihukum pakai hukum negara diusir pula jika hukum adat berlaku. Ini kan juga sesuai dalam Kitab Al-quran karena pembakaran menimbulkan dampak yang luar biasa. Hukum adat dan hukum Indonesia harus berjalan seiringan dan kembali hidup," ujar dia.

Tidak hanya pembakaran hutan, dia menyebutkan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam juga memiliki aturan adat tentang bagaimana cara menebang pohon yang baik agar tidak merusak lingkungan.

"Seperti menebang di hutan pohon tidak boleh ditebang kalau ada di sebrang sungai sebelah kanan karena bisa menghalangi air. Itu cuma ada di masyarakat  lokal setempat dan kami minta dilestarikan kembali dan dihidupkan. Sekarang yang kita adopsi hukum Belanda di translate ke Indonesia, sementara kearifan lokal kerajaan, kesultanan, kedatuan pendisir kan ada sebelum Belanda masuk," beber dia.

Dia berharap, para pemikir negara dapat kembali merapikan tatanan hukum Indonesia. Termasuk adanya UU Marga no 5 tahun 79 sistem marga perlu dibuka kembali agar dapat melihat jalannya hukum adat yang tidak merusak lingkungan.

Di akhir perbincangan, dia mengatakan lebih dari 50 persen adab budaya lokal tergerus ditengah derasnya arua digital. Anak muda, kata dia, hampir tidak lagi mengenal dan memahami adar budaya adiluhung.

"Kita harus kompak dan komitmen bersama mengembalikan adat budaya melalui muatan lokal baik pada SD, SMP dan lainnya," harap dia.

 Saksikan video pilihan berikut ini!