Sukses

Zona Bahaya Gunung Agung Versi Peneliti ITB

Dosen ITB menyelenggarakan studi pengindraan jauh untuk memprediksi potensi zona bahaya Gunung Agung.

Liputan6.com, Bandung - Melihat tingginya aktivitas Gunung Agung di Bali belakangan ini, dosen Institut Teknologi Bandung langsung menyelenggarakan studi pengindraan jauh untuk memprediksi potensi zona bahaya yang dapat ditimbulkan. Bagaimana studi pengindraan yang dimaksud?

Tak lebih dari sepekan sejak memulai penelitian pada Jumat 22 September 2017, hasil penelitian para dosen ITB sudah berhasil dirilis dan dapat menjadi solusi bagi masyarakat di sekitar Gunung Agung.

Mereka yang terlibat di antaranya Prof. Ketut Wikantika, Dr. Eng. Asep Saepuloh, dan Tri Muji Susantoro, Drs., MT. Semuanya dari Center for Remote Sensing (CRS-ITB).

Berdasarkan penelitian, 51 tahun yang lalu Gunung Agung pernah meletus dengan kekuatan yang amat dahsyat. Sejarah mencatat, tak kurang dari 1.700 orang meninggal dunia akibat kejadian tersebut.

Pengalaman masa lalu inilah yang membuat kekhawatiran terhadap Gunung Agung menjadi sangat tinggi. Apalagi aktivitasnya meningkat secara pesat sejak beberapa pekan terakhir.

Berdasarkan fakta inilah, Prof. Ketut bersama mahasiswa S3-nya, Tri Muji Susantoro, dan dengan dibantu oleh Dr. Asep Saepuloh, melakukan kajian terhadap potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh Gunung Agung.

Mereka memanfaatkan teknik penginderaan jauh yang menjadi bidang fokus mereka sehari-hari. Ada empat potensi yang mereka analisis, yakni arah aliran lahar, bom-bom vulkanik, awan panas, serta lahar dingin yang turun akibat adanya hujan deras setelah letusan terjadi.

Potensi aliran lahar panas Gunung Agung mereka analisis dengan berdasarkan pada dua hal, yakni Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berkembang dari puncak dan analisis tebal tipisnya kondisi kawah.

Sementara itu, potensi bom-bom vulkanik dianalisis dengan membuat zona bahaya berdasarkan referensi jarak dari puncak letusan pada 1963. Adapun analisis terhadap potensi awan panas dan lahar dingin juga dilakukan dengan memanfaatkan DAS dan tebal tipisnya kondisi kawah, tetapi dengan daerah analisis yang lebih luas.

Data yang mereka gunakan untuk penelitian ini sendiri berasal dari Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dan Landsat 8. Khusus pada data Landsat 8, pengolahannya dilakukan dengan koreksi radiometrik yang meliputi kalibrasi radiometrik dan koreksi atmosfer. Kalibrasi radiometrik sendiri dilakukan dengan mengubah nilai digital pada Top of Atmosphere, sementara koreksi atmosfer dilakukan dengan metode FLAASH.

Hasilnya, Ketut dan Tri Muji berhasil memprediksi kalau arah aliran lahar panas Gunung Agung masih akan cenderung bergerak ke arah utara.

“Arah aliran lahar panas akan cenderung ke utara karena ternyata dinding kawah di utara lebih tipis dan lebih rendah ketimbang dinding kawah di bagian timur, selatan, atau barat,” kata Ketut dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com.

“Kalau aliran lahar panas ke barat, peluangnya masih kecil karena terdapat punggungan bukit,” tambah ketua CRS-ITB ini.

Studi dengan pengindraan jauh ini juga menunjukkan adanya potensi pergerakan aliran lahar panas hingga mencapai jarak 7,5 km di utara Gunung Agung. Oleh karena itu, Ketut menyarankan agar seluruh penduduk yang masih berada pada zona tersebut tetap waspada dan senantiasa memperhatikan arahan dari BPNB setempat.