Liputan6.com, Bolaang Mongondow - Suasana pagi yang tenang dan penuh damai terasa menyengat saat berada di kampung ini, sebuah pemukiman dengan penduduk yang majemuk. Berjarak lima jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Manado, Sulawesi Utara, untuk bisa tiba di Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow.
"Penduduk di sini hidup dengan damai. Meskipun berbeda suku dan agama," I Wayan Tardja, seorang pandita Hindu, Sabtu 23 September 2017.
Pagi itu Tardja sedang berada di sebuah pura yang terletak di tengah-tengah perkampungan. Tepat di depan pura itu, berdiri sebuah gedung Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM). Bersebelahan dengan GMIBM, sebuah masjid berdiri dengan megah. Bahkan menara masjid dan menara lonceng gereja hanya berjarak beberapa meter saja.
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan di samping kiri pura itu, terdapat tiga buah gereja berjejer masing-masing Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), Gereja Katolik Santu Yusuf, dan Gereja Pantekosta di Indonesia.
"Tidak ada permusuhan. Semua hidup berdampingan, dan membangun toleransi selama puluhan tahun," ujar Tardja.
Sejumlah rumah ibadah itu memang sudah berada dalam satu komplek sejak kampung itu dibangun di tahun 1972. Pagi itu hanya Tarjda dan sejumlah umat Hindu yang beraktifitas di rumah pura itu. Sementara di rumah ibadah yang lain terlihat sepi.
Kampung yang dbangun di era Soeharto ini diperuntukan bagi warga transmigrasi asal Jawa Timur dan Bali. Namun kemudian masuk juga warga dari Bolaang Mongondow, Minahasa, dan Sangihe melalui program transmigrasi lokal.
"Mopuya kini sudah mengalami pemekaran hingga enam desa. Dengan jumlah penduduk sekitar enam ribu jiwa. Ada penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu," kata Camat Dumoga Utara, I Ketut.
Suasana alam pedesaan yang masih terasa dengan hamparan tanaman padi melingkari enam desa ini membuat suasana kian asri. Saat matahari mulai memancarkan sinarnya, warga Mopuya mulai keluar dari rumah mereka. Laki-laki dan perempuan, menunggu truk yang akan melintas di jalan kampung itu.
"Itu kelompok perontok, istilah untuk memanen padi. Pagi hari mereka sudah pergi ke sawah, dan kembali ke kampung menjelang sore," kata Victor Pontolondo, warga Desa Mopuya Utara 1.
Saksikan video pilihan di bawah ini: