Sukses

Menderes Gula Nipah Cilacap di Sarang Buaya Muara

Penderes gula nipah berperahu sekitar 4 kilometer menyusuri Sungai Cibeureum hingga sampai ke laguna.

Liputan6.com, Cilacap - Rasa gula ini berbeda dengan gula kelapa atau gula pasir yang lebih populer. Di antara manis, terselip asin lamat-lamat. Namun, itu pula kelebihannya. Perpaduan manis dan asin alaminya dari gula nipah membuatnya diburu industri kecap dan jenis makanan lain.

Rasa asin ini didapat lantaran nipah tumbuh di kawasan mangrove yang memiliki air payau. Lantaran rasa asin lamat-lamat ini membuat citarasa gula nipah lebih istimewa. Salah satu daerah penghasil gula nipah terbesar adalah wilayah Laguna Segara Anakan di Kabupaten Cilacap.

Di wilayah ini, terdapat ratusan perajin nipah yang menyadap ratusan ribu pohon nipah (Nypa fruticans) yang tumbuh di daerah air payau. Mereka tak berbagi hasil dengan siapa pun, seperti lazimnya penderes dengan pemilik lahan. Pasalnya, pohon nipah tumbuh di tanah sedimentasi tiga sungai besar wilayah itu, yakni Citanduy, Cibeureum, dan Cimeneng.

Namun, selain keahlian berperahu dan berenang, mereka mesti bernyali besar. Pada masa lalu, wilayah muara dan tanah timbul itu adalah habitat buaya muara dan berbagai jenis ular. Konon, di masa lalu, lahan timbul itu adalah habitat buaya muara bersarang dan beranak pinak.

Salah satu pria pemberani itu adalah Sumitro, warga Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten. Tadinya, ia berprofesi sebagai nelayan. Namun, lantaran laguna semakin menyempit, ia pun beralih menjadi seorang penderes nipah.

Alat utama yang dia gunakan tetap perahu. Sebab, untuk menjangkau kawasan nipah, ia perlu berperahu sekitar 4 kilometer menyusuri Sungai Cibeureum sampai ke laguna. Perahu jukungnya hanya berukuran 6 x 0,8 meter.

Perahu sekecil ini dijamin tengkurap jika ada buaya muara dewasa yang iseng menyundul. Namun, sudah lama ia tak pernah mendapati ada buaya yang berjemur. Mungkin, mereka bermigrasi ke wilayah pedalaman yang lebih jarang dirambah manusia.

"Sudah lama tidak melihat. Mungkin karena semakin banyak aktivitas," ujarnya, akhir September 2017 kemarin.

Walaupun sudah lama tak melihat bukan berarti buaya tak berada di sini. Sebab, Laguna Segara Anakan pada masa lalu dikenal sebagai salah satu habitat buaya muara dengan luas yang mencapai 6.450 hektare. Ekosistem mangrove menciptakan beragam kekayaan hayati, yang disebut sebagai yang terlengkap di Asia.

Seorang penderes tengah menyadap di tengah hutan nipah berlumpur di Laguna Segara Anakan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di laguna, ia harus menapak wilayah berlumpur beratus meter. Untuk melindungi dari sengatan hewan berbahaya, ia memakai sepatu karet dan kaus kaki tinggi. Tampak lucu memang gaya busana para penderes ini.

"Memakai sepatu bot, sekali masuk lumpur, sudah sulit ambilnya. Kalau sepatu ini kan murah, hilang ya sudah," dia menerangkan.

Dalam sehari, ia bisa menyadap antara 60-80 liter nira nipah. Namun, dari nira sebanyak itu, hanya menghasilkan sekitar 7-10 kilogram gula nipah per hari. Nira itu disadap dua kali, pagi dan sore hari. Harga jualnya mencapai Rp 11 ribu per kilogram.

Sementara, Kepala Desa Ujungmanik, Sugeng Budiarto, mengatakan di desanya terdapat sekitar 100 penderes nipah. Produksinya mencapai 5-10 ton gula nipah per pekan, tergantung musim. Konsumen terbesarnya adalah pabrik kecap dan aneka penyedia makanan.

"Mungkin dengan asin lamat-lamat ini, mereka jadi tidak usah pakai garam. Akhirnya yang menyerap banyak pabrik kecap dan makanan," kata Sugeng.

Dia membenarkan, profesi penderes nipah adalah pilihan terakhir saat sungai dan laguna sudah tak menjanjikan. Ikan semakin sulit didapat, menyusul menyempitnya Laguna Segara Anakan.

Laguna yang dulu wilayah perairannya disebut sebagai Segara Anakan karena saking luasnya, kini tak lebih menjadi lajur-lajur air dalam kepungan hutan mangrove. Gula nipah menjadi jejak yang tersisa.Â