Sukses

Kisah Keluarga RA Kartini Angkat Derajat Bangsa Melalui Batik

Berdasarkan sejarahnya, batik Tegal juga mendapat pengaruh dari adik kandung Raden Ajeng (RA) Kartini, yakni RA Kardinah.

Liputan6.com, Tegal - Perayaan Hari Batik Nasional setiap tanggal 2 Oktober selalu meriah di berbagai daerah. Terutama setelah UNESCO (Badan PBB Urusan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan) menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, pada 2 Oktober 2009.

Pengakuan UNESCO itu memang wajar, mengingat hampir setiap daerah di Indonesia, memiliki batik khas masing-masing, baik dari corak, pewarnaan, motif, dan bahan pewarna, serta cara pembuatannya. Seperti di Tegal, Jawa Tengah, yang juga memiliki batik khas.

"Awalnya, batik Tegal dibuat untuk kebutuhan keluarga, terutama bila suatu keluarga bakal mempunyai hajat seperti perkawinan dan sunatan. Batik merupakan sumbangan yang berharga bagi acara-acara penting dalam keluarga," ucap budayawan pantura Tegal, Yono Daryono, Selasa (3/10/2017).

Namun, mereka secara tidak sadar justru memosisikan batik sebagai hasil karya seni yang nilainya tidak terukur. Kondisi ini dapat disaksikan di daerah-daerah perajin batik seperti Kalinyamat Wetan dan Kelurahan Bandung, Kecamatan Tegal Selatan.

Sejatinya, batik Tegal berawal ketika sejumlah pengawal penguasa Kerajaan Mataram atau Raja Amangkurat I yang mengungsi ke Tegal. Hal inilah yang menyebabkan motif batik Tegal mirip dengan batik keraton, yakni didominasi warna hijau dan kecokelatan.

Namun, perkembangan berikutnya, para pembatik di kota tersebut memberi motif batik dari flora dan fauna. Para pembatik berekspresi tanpa beban makna dan kegunaan. Perubahan corak, motif, dan dominasi warna batik Tegal tidak lepas dari pengaruh Raden Ajeng (RA) Kardinah, adik kandung RA Kartini.

Motif batik Tegal sebagian dikembangkan oleh adik kandung RA Kartini, yakni RA Kardinah. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Adapun warna batik Tegal pertama kali sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal kemudian meningkat menjadi warna merah biru. Selain itu, motif batik Tegal mempunyai kekhasan tersendiri, sesuai dengan kondisi lingkungan si pembuatnya.

"Motifnya lebih bersifat ekspresi pembatiknya dalam merespons lingkungan, atau alam sekitar, flora, dan fauna," tutur Yono.

Melihat desainnya, ia memaparkan, batik Tegal mengenal motif dapur ngebul, gribikan, cempaka putih, gruda (garuda), kawung, tapak kebo, semut runtung, sawatan, tumbar bolong, kawung, dan blarak sempal.

Motif batik Tegal lainnya adalah kuku macan, beras mawur, ukel, batu pecah, kotakan, cecek awe, tambangan, grandilan, sawo rembet, buntoro, karung jenggot, kopi pecah, corak daun teh, poci, benang pedhot, dan mayang jambe.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

RA Kardinah Perkenalkan Batik Tegal

Adapun berdasarkan sejarahnya, batik Tegal juga mendapat pengaruh dari adik kandung Raden Ajeng (RA) Kartini, yakni RA Kardinah. "Kardinah lebih suka warna soga dan hitam. Dan itulah yang kemudian dibawa ke Tegal, sehingga walaupun batik Kardinah diilhami oleh batik Lasem," ujar Yono.

Namun yang dikembangkan di Tegal berbeda dari batik Lasem. "Pada 1908, Kardinah pindah ke Tegal karena mengikuti suaminya, Bupati Reksonegoro," ia menambahkan.

Sejak tahun itu pula, Kardinah mengajari membatik bagi anak-anak wanita di lingkungan pendopo. "Kebiasaan Kardinah membatik dilakukan sejak kecil. Bersama kakak-kakaknya, Kartini, dan Roekmini, Kardinah sering membatik di serambi belakang Kabupaten Jepara," katanya.

Mereka bertiga yang dikenal sebagai Tiga Serangkai ini memiliki kegemaran memakai kain batik hasil buatan sendiri.

Dalam buku hariannya tertanggal "Depok, September 1900", Dr N Andrian, seorang indonesianis, menulis tentang pertemuannya dengan Kartini, Kardinah, dan Roekmini di Batavia (nama Jakarta tempo dulu). Kala itu, menurut Andrian, mereka bertiga sama-sama berkebaya sutra putih berbunga-bunga jambu, berkonde, dan berkalung emas tipis pada leher mereka.

Motif batik Tegal sebagian dikembangkan oleh adik kandung RA Kartini, yakni RA Kardinah. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Alhasil, mereka menjadi begitu cantik, dan ketiga-tiganya mengenakan sarung batik indah, buatan sendiri, berwarna cokelat memikat. Menurut Andrian, Kardinah dan saudari-saudarinya selalu mengenakan sarung batik buatan sendiri.

Mereka pun bukan hendak memamerkan tentang kecakapan membatik. "Tetapi dan terutama sekali untuk membanggakan keunggulan seni rakyat pribumi yang sejauh itu belum dikenal dan belum ditandingi oleh negeri mana pun," tulis Andrian, seperti dituturkan kembali oleh budayawan Yono Daryono.

Kebanggaan itulah yang kemudian ditularkan kepada masyarakat Tegal lewat sekolah Wismo Pranowo. Upaya RA ardinah dalam memperkenalkan hasil karya batik anak-anak didiknya bukan saja untuk dipakai sendiri, tetapi juga dipamerkan.

Bahkan, setiap tahun suaminya bersama dengan guru-guru Wismo Pranowo menyelenggarakan pasar malam di Alun-alun Tegal. Bersama dengan Perkumpulan Kesenian Hindia cabang Tegal mengadakan pameran di Pekalongan dan Cirebon.

Batik Tegal sudah berabad lamanya dikenal di kota-kota besar di Indonesia. Pengenalan batik Tegal tidak lepas dari perjuangan Kardinah. Bersama kakaknya, Kartini dan Roekmini, Kardinah berupaya meningkatkan derajat dan peradaban rakyat Indonesia.

"Pikiran-pikiran dan kegiatan Tiga Serangkai ini mengilhami pergerakan nasional yang ditandai dengan berdiri Budi Utomo pada 1908. Sebelum ikrar Sumpah Pemuda 1928, mereka juga telah menggalang persatuan dalam perkumpulan Jong Java," Yono membeberkan.